Tuesday 28 May 2013

Penulis Tamu Pertama #31harimenulis

akhir bulan lalu ia bertolak ke Jakarta setelah menahun di Yogyakarta.
lolitya namanya loli panggilannya dita nama tak terkenalnya dan banyak yang mengidolakannya.
setelah menggondol emas di sebuah kompetisi periklanan ternama di Indonesia seketika lenyap dari kampus dan setahun kemudian profile picture facebooknya sudah memakai toga. mahasiswi komunikasi 2007 yang rajin jogging ini kami undang untuk berbagi kepada #31harimenulis tentang hijrahnya beliau dari kota gudeg menuju kota bising yang bikin budeg. (derry nasution)

Kembali ke Jakarta
oleh Lolitya Anindita

“Kembali ke Jakarta” – Koes Plus


Saat itu sekitar pukul 22:00, saya masih di kantor bersama setumpuk koran yang harus dianalisis isi pemberitaannya. Kemudian muncul sebuah kotak chat di Facebook saya yang sedang terbuka, ternyata Derry yang mengirimnya. Derry menawarkan saya untuk menjadi penulis tamu di 31 hari menulis. Ajaibnya tema yang Derry lemparkan adalah “Jangan takut kerja di Jakarta". Tema itu jadi ajaib karena saya pribadi justru masih di penyesuaian dalam menghadapi Jakarta.

Takut menjadi robot adalah kekhawatiran utama saya saat akan tinggal di Jakarta lagi. Robot yang bangun di pagi buta untuk berangkat ke kantor sambil sarapan di perjalanan, kemudian bermacet-macet di jalan bersama robot-robot lainnya. Robot yang terkungkung dalam gedung-gedung tinggi, kemudian pulang lagi untuk bermacet-macet di jalan, dan langsung tidur kehabisan energi. Bangun setiap pagi untuk mengikuti pola yang sama. Berulang-ulang. Hidup macam apa itu? Menurut saya, menjadi manusia berarti dapat memilih sendiri bagaimana hidupnya ingin dijalankan. Menjadi manusia berarti memiliki otoritas pada diri sendiri. Saya tahu betul kalau kondisi jalanan di Jakarta akan membuat saya mengikuti otoritasnya, membuat saya mengikuti ritme yang ia tetapkan, dan tidak ada pilihan ritme lainnya. Cuma ada satu rumus: hadapin aja.

Sudah sebulan lebih saya bekerja di Jakarta, dan memang tidak mudah. Badan saya sepertinya sudah melambai-lambai ke kamera, meminta untuk mundur saja. Saya berangkat pukul 6:30 dan menempuh 17 kilometer bermacet-macetan selama 1,5 jam untuk ke kantor setiap hari. Rata-rata saya sampai dirumah pukul 22:00 dan tetap berangkat jam 6:30 keesokannya. Energi saya justru terkuras habis di jalan dibandingkan di pekerjaan. Jujur saja, hati saya juga sering kesal dengan Jakarta. Kesal harus rela memakai celana bahan tebal dan tidak nyaman untuk mencegah mas-mas iseng berpikiran buat colek-colek saya di kendaraan umum. Kesal karena harus berstrategi memilih rute dan kendaraan untuk sekedar pulang ke rumah. Kesal ketika stok taksi di jalan Sudirman habis total disaat selesai hujan.
Pada akhirnya saya juga capek kesal terus.

Salah seorang teman sekantor saya bilang, “Sebenarnya tinggal di Jakarta is a mind game”. Saya rasa perkataannya memang ada betulnya, kita harus bermain dengan pikiran kita untuk bisa hidup bahagia dan nyaman di Jakarta. Kita harus memaksa otak kita untuk mengambil dengan santai hal-hal yang tidak sesuai dengan hati. Sebuah permainan yang meminta otak kita untuk terus melihat bahwa diantara sekian banyak ketidaknyamanan, gelas yang kita miliki memang setengah penuh. Saya pribadi baru mulai menghadapi dengan santai banyak hal di Jakarta yang tadinya membuat saya kesal. Ketika stok taksi habis di jalan Sudirman, saya relakan waktu itu untuk menunggu lebih lama lagi di kantor atau di mall terdekat sambil makan malam. Ketika jalanan macet, saya menghibur diri dengan mengobrol dengan bapak supir taksi atau orang yang duduk di samping ketika di dalam bis. Tidak memaksakan diri saya rasa juga penting, terutama disaat masih penyesuaian seperti saya sekarang ini. Ada kalanya kita harus mementingkan kenyamanan dan keinginan pribadi demi kewarasan pikiran. Artinya bukan dosa kalau kita memilih bayar tarif taksi yang mahal demi kenyamanan di jalan. Bukan salah juga ketika kita ingin keluar gedung untuk sekedar cari udara asli.

Derry sempat menceritakan bahwa, menurutnya, banyak anak-anak Komunikasi UGM yang takut untuk kerja di Jakarta, bahkan untuk anak-anak yang SMA di Jakarta, seperti dia dan saya. Saya percaya pepatah dari Barat yang mengatakan “What doesn’t kill you makes you stronger” bisa menjawabnya. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah kalau sudah lebih kuat, mau mencari apa lagi? Mau lebih kuat lagi? Apakah kamu siap bermain pikiran setiap hari? Jawablah sendiri, dan sampai ketemu saya di Jakarta! J

1 comment:

  1. saya suka tulisan ini, cool!...mewakili ketakutanku untuk kerja di Jakarta...

    ReplyDelete