akhir bulan lalu ia bertolak ke Jakarta setelah menahun di Yogyakarta.
lolitya namanya loli panggilannya dita nama tak terkenalnya dan banyak yang mengidolakannya.
setelah menggondol emas di sebuah kompetisi periklanan ternama di Indonesia seketika lenyap dari kampus dan setahun kemudian profile picture facebooknya sudah memakai toga. mahasiswi komunikasi 2007 yang rajin jogging ini kami undang untuk berbagi kepada #31harimenulis tentang hijrahnya beliau dari kota gudeg menuju kota bising yang bikin budeg. (derry nasution)
Kembali ke Jakarta
oleh Lolitya Anindita
“Kembali ke Jakarta” – Koes Plus
|
Saat itu sekitar pukul 22:00, saya masih di kantor bersama setumpuk koran
yang harus dianalisis isi pemberitaannya. Kemudian muncul sebuah kotak chat di Facebook saya yang sedang
terbuka, ternyata Derry yang mengirimnya. Derry menawarkan saya untuk menjadi
penulis tamu di 31 hari menulis. Ajaibnya tema yang Derry lemparkan adalah
“Jangan takut kerja di Jakarta". Tema itu jadi ajaib karena saya pribadi
justru masih di penyesuaian dalam menghadapi Jakarta.
Takut menjadi robot adalah kekhawatiran utama saya saat akan tinggal di
Jakarta lagi. Robot yang bangun di pagi buta untuk berangkat ke kantor sambil
sarapan di perjalanan, kemudian bermacet-macet di jalan bersama robot-robot
lainnya. Robot yang terkungkung dalam gedung-gedung tinggi, kemudian pulang
lagi untuk bermacet-macet di jalan, dan langsung tidur kehabisan energi. Bangun
setiap pagi untuk mengikuti pola yang sama. Berulang-ulang. Hidup macam apa itu?
Menurut saya, menjadi manusia berarti dapat memilih sendiri bagaimana hidupnya
ingin dijalankan. Menjadi manusia berarti memiliki otoritas pada diri sendiri. Saya
tahu betul kalau kondisi jalanan di Jakarta akan membuat saya mengikuti
otoritasnya, membuat saya mengikuti ritme yang ia tetapkan, dan tidak ada
pilihan ritme lainnya. Cuma ada satu rumus: hadapin
aja.
Sudah sebulan lebih saya bekerja di Jakarta, dan memang tidak mudah. Badan
saya sepertinya sudah melambai-lambai ke kamera, meminta untuk mundur saja. Saya
berangkat pukul 6:30 dan menempuh 17 kilometer bermacet-macetan selama 1,5 jam untuk
ke kantor setiap hari. Rata-rata saya sampai dirumah pukul 22:00 dan tetap
berangkat jam 6:30 keesokannya. Energi saya justru terkuras habis di jalan
dibandingkan di pekerjaan. Jujur saja, hati saya juga sering kesal dengan
Jakarta. Kesal harus rela memakai celana bahan tebal dan tidak nyaman untuk
mencegah mas-mas iseng berpikiran buat colek-colek saya di kendaraan umum.
Kesal karena harus berstrategi memilih rute dan kendaraan untuk sekedar pulang
ke rumah. Kesal ketika stok taksi di jalan Sudirman habis total disaat selesai
hujan.
Pada akhirnya saya juga capek kesal terus.
Salah seorang teman sekantor saya bilang, “Sebenarnya tinggal di Jakarta is a mind game”. Saya rasa perkataannya
memang ada betulnya, kita harus bermain dengan pikiran kita untuk bisa hidup
bahagia dan nyaman di Jakarta. Kita harus memaksa otak kita untuk mengambil dengan
santai hal-hal yang tidak sesuai dengan hati. Sebuah permainan yang meminta
otak kita untuk terus melihat bahwa diantara sekian banyak ketidaknyamanan, gelas
yang kita miliki memang setengah penuh. Saya pribadi baru mulai menghadapi
dengan santai banyak hal di Jakarta yang tadinya membuat saya kesal. Ketika
stok taksi habis di jalan Sudirman, saya relakan waktu itu untuk menunggu lebih
lama lagi di kantor atau di mall terdekat sambil makan malam. Ketika jalanan
macet, saya menghibur diri dengan mengobrol dengan bapak supir taksi atau orang
yang duduk di samping ketika di dalam bis. Tidak memaksakan diri saya rasa juga
penting, terutama disaat masih penyesuaian seperti saya sekarang ini. Ada
kalanya kita harus mementingkan kenyamanan dan keinginan pribadi demi kewarasan
pikiran. Artinya bukan dosa kalau kita memilih bayar tarif taksi yang mahal
demi kenyamanan di jalan. Bukan salah juga ketika kita ingin keluar gedung
untuk sekedar cari udara asli.
Derry sempat menceritakan bahwa, menurutnya, banyak anak-anak Komunikasi
UGM yang takut untuk kerja di Jakarta, bahkan untuk anak-anak yang SMA di
Jakarta, seperti dia dan saya. Saya percaya pepatah dari Barat yang mengatakan
“What doesn’t kill you makes you stronger”
bisa menjawabnya. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah kalau sudah lebih kuat,
mau mencari apa lagi? Mau lebih kuat lagi? Apakah kamu siap bermain pikiran
setiap hari? Jawablah sendiri, dan sampai ketemu saya di Jakarta! J
saya suka tulisan ini, cool!...mewakili ketakutanku untuk kerja di Jakarta...
ReplyDelete