Wednesday, 16 May 2012

Penulis Tamu Kesepuluh #31harimenulis


Q and A Jurnalisme Sastrawi
Bersama Arman Dhani Bustomi

Jika anda mahasiswa yang mengambil konsentrasi Media coba tanyakan pada diri sendiri apakah sudah mengenal Jurnalisme Sastrawi. Jika jawabnya belum, maka anda termasuk orang merugi. Jenis penulisan ini adalah sesuatu yang mengasyikkan untuk didalami. Sayangnya tak banyak mahasiswa yang tertarik dengan hal ini. Untuk mengenal jurnalisme sastrawi maka panitia 31 Hari Menulis mewawancarai Arman Dhani Bustomi.

Siapa Arman Dhani Bustomi? Selain berprofesi sebagai tukang duplikat kunci ia juga pernah mengikuti workshop Jurnalisme Sastrawi yang diadakan oleh Yayasan Pantau. Workhsop ini menghadirkan Andreas Harsono, seorang living legend penulisan Jurnalisme Sastrawi di negeri ini. Meski mengaku lebih senang menduplikat kunci namun Dhani, begitu pria jomblo ini biasa disapa, membeberkan jurnalisme sastrawi dengan sangat apik untuk anda. Sebelum membaca saya hanya mengingatkan bagian yang ada “Yoga” adalah fiktif belaka. Silakan membaca wawancara ini dan bersiaplah mengalami pengalaman jurnalistik yang belum kita temui sebelumnya.


Pagi Mas Dhani, sudah Yoga hari ini?
Sudah. Tadi sebelum sarapan sambil nonton Derings.

Enakan Yoga apa menulis sih?

Ini pertanyaan sulit. Karena Yoga temen saya itu gak suka nulis. Sukanya jualan baju. Dan setau saya Yoga sudah punya pacar. Jadi saya pilih enakan menulis.

Kalau persamaanya Yoga dan menulis apa?

Sama-sama bikin badan keringetan. Cobak sampean nulis diatas wajan. Bisa sampek mateng itu.

Kayanya ngomongin menulis asyik nih, Mas Dhani udah berapa lama terjun ke dunia penulisan?
Saya gak terjun. Saya kesandung. Kira kira mulai menulis sejak TK nol kecil. Tapi serius nulis nulisan itu baru 2010 lalu. Itupun karena PDKT sama cewek biar keliatan pinter. Jatohnya malah kayak tukang kredit.

Awalnya kenapa tertarik dengan dunia penulisan Mas Dhani?
Seperti saya bilang sebelumnya. Karena naksir cewek. Sayangnya si cewek malah kawin sama seniornya anak basket. Asem tenan padahal udah kadung bikin puisi sama reportase. Juga karena saya suka membaca. Saya suka bukunya Umar Khayam yang mangan ora mangan kumpul. Dari dulu pengen nulis seperti beliau tapi gak bisa. Makanya terobsesi belajar nulis terus. Sampe sekarang sebenarnya masih belajar.

Saya dengar-dengar Mas Dhani ini tertarik dengan jurnalisme sastrawi ya, itu apa sih Mas?
Sebenarnya saya lagi tertarik belajar bahasa suku Dogon di Mali. Kenapa? Karena mereka merasa keturunan alien. Dan kata orang bentuk perut saya seperti alien. Tapi soal jurnalisme sastrawi itu lebih tepat jika disebut  narrative writings atau narrative writings. Kenapa? Oh bukan karena suku dogon itu astronot. Tapi karena memang penulisan jurnalisme ini berbentuk narasi seperti sebuah cerita pendek. Dengan detail dan alur dan plot serupa karya sastra. Sisanya persis seperti sebuah liputan jurnalistik.

Bedanya jurnalisme sastrawi dengan yang lainnya apa ya Mas Dhani?

Bedanya hanya pada bentuk penulisan yang lebih panjang dan lebih renyah. Lainnya sama. Sama sama mengutamakan fakta dan akurasi.

Kok bisa ada jurnalisme sastrawi itu sejarahnya gimana sih Mas?

Wah ini rumit mas. Serumit sinetron tersanjung. Gak kelar sampek 8 seri. Tapi tonggaknya ada pada Tom Wolfe, Truman Capote dan Hunter S Thompson. Ketiga orang itu bikin penulisan kreatif yang sangat luar biasa. Sebenarnya sebelum mereka sudah ada seperti Earnie Pyle dan John Hersey. Hanya saja di tangan Tom Wolfe terutama jurnalisme ini semakin meluas. Karena memangbeda dari pakem tulisan jurnalisme kebanyakan. Tapi tetap mengutamakan fakta.

Ciri khas jurnalisme sastrawi apa sih Mas?

Mata sipit, hidung bangir, kulit putih dan mau sama saya. Tapi lebih jelas bisa baca di tujuh kriteria jurnalisme sastrawi Andreas Harsono. Ada di google yang maha tau. Tapi buat saya ciri khasnya ada tiga. Satu; penguasaan terhadap detail berita yang besar, dua; mampu merumuskan plot penulisan berita yang gahar dan yang terakhir mampu mendapatkan kutipan yang sangar!

Kok namanya jurnalisme sastrawi, jurnalisme kan fakta, sastra fiksi, berarti kalau jurnalisme sastrawi itu fakta apa fiksi Mas?

Sumpah itu bukan saya yang nyuruh. Sebenarnya itu masalah penamaan saja. Jurnalisme Sastrawi lebih tepat digunakan sebagai jurnalisme narasi. Dan yang membedakan antara sastra fiksi adalah fakta dan akurasi yang mesti benar dan tepat.

Saya sama teman-teman saya pernah baca cerita-cerita sastra Seno Gumira Ajidarma tentang konflik di Timor-Timur, itu jurnalisme sastrawi bukan Mas?

Bukan. Itu murni sastra. Karena Seno menggunakan tokoh fiktif dan tidak menyertakan sumber yang valid. Karya Seno itu adalah fiksi yang dibangun dari fakta. Sedangkan jurnalisme sastrawi adalah penulisan kreatif yang ditulis berdasrkan kebenaran fakta dan akurasi.

Apa itu berarti jurnalisme sastrawi lebih baik dibanding jurnalisme yang lain?

Yang jelas saya lebih ganteng mas. Ini sahih. Lebih baik atau tidak itu masalah taste. Kalau kata mbahkung saya De gustibus non disputandum est. Jangan memperdebatkan rasa perkedel.

Saya dengar-dengar juga Mas Dhani pernah ikut workshop jurnalisme sastrawi yang diadakan Yayasan Pantau, bisa diceritakan soal workshop itu?

Ah kata sapa. Itu bukan Cristian Sugiono. Ya memang saya kerap disamakan dengan dia. Waktu itu saya dapat beasiswa dari ford foundation. Jadi istilahnya ikut dlangop (baca bengong) di kelas itu. Tapi soal workshop itu lebih pada semacam kursus singkat soal metode penulisan jurnalisme narasi tadi.


Apa yang menarik dalam workshop tersebut?
Ada mas. Namanya sisca. Tapi sudah punya pacar.  Juga karena  pematerinya luar biasa. Ada Andreas Harsono dan Janet Steele. Angkatan kemarin ada Seno Gumira. Pada zaman saya dapat bonus bertemu dengan Sitok Srengenge dan belajar soal kata yang tepat guna.

Kalau kita juga mau ikut workshop itu caranya gimana ya Mas Dhani?

Berpenampilan menarik dan bersedia ditempatkan di mana saja. Tapi untuk kelas itu biasanya mereka akan pengumuman via facebook atau kalau pada zaman saya dapat tawaran dari andreas harsono sendiri. Juga rekomendasi dari alumnus kelas sebelumnya. Dan untuk bisa ikut kita harus menyertakan contoh tulisan dan biodata diri serta pengalaman menulis.

Oh iya Yayasan Pantau itu apa ya Mas?
Ini semacam organisasi power rangers dalam hal pengamatan mutu jurnalisme indonesia. Tapi sayang sudah bubar. Berat di ongkos.

Selain Yayasan Pantau apakah jurnalisme sastrawi juga dipakai di media-media di Indonesia Mas Dhani?

Iya dipakai. tapi tidak maksimal. Karena kendala ruang yang memang tak bisa singkat. Tempo, Kompas dan Jawa Pos pernah coba. Media luar jawa yang pernah di kalimantan seingat saya.

Kan kita masih awam soal jurnalisme sastrawi nih Mas Dhani, kalau mau belajar langkah-langkahnya gimana ya?
Sudah punya sertifikat seniman? Kalau belum bikin dulu. Saran saya perbanyak baca referensi naskah jurnalisme sastrawi. Lalu perbanyak latihan menulis. Juga share di social media untuk minta masukan/

Awal-awal belajar dan melakoni jurnalisme sastrawi kesulitannya biasanya apa ya Mas Dhani?
Memenuhi nafkah lahir dan batin. Juga pada stamina menulis dan reportase. Sebuah tulisan jurnalisme sastrawi tak bisa digarap sehari. Dia butuh proses yang lumayan panjang. Seperti wawancara, observasi data, kroscek dan juga penyusunan. Penulisannya tak bisa sebentar. Meski tulisannya tak mesti panjang. The death of captain waskow oleh ernie pyle itu panjangnya hanya  satu stengah halaman. Reportasenya tiga bulan.

Susahan mana belajar jurnalisme sastrawi apa belajar Yoga?
Sebenarnya lebih susah cari perempuan yang mau sama saya mas.

Ada gak sih Mas buku atau artikel yang bisa kita baca untuk belajar jurnalisme sastrawi?
Ada. Kebanyakan di dominasi oleh buku dari alumnus Pantau. Seperti antologi Atjeh Hingga Papua dan jangan panggil aku teroris  milik Linda Cristhanty. Jurnalisme sastrawi antologi memikat terbitan pantau. Buku agama saya jurnalisme andreas harsono. Juga beberapa materi yang bisa anda baca di nieman fellowship. Juga di situs pantau. Newyorker dan esquire. Kalau untuk pengantar buku Septiawan Santana Kurnia bisa jadi acuan.

Ada pesan untuk teman-teman yang mau belajar Yoga?

Stres! Obatnya iman dan takwa! – Haji Oma Irama

Terakhir nih Mas Dhani, kalau pesan untuk teman-teman yang mau belajar Jurnalisme Sastrawi apa?
Terakhir? Saya masih mau hidup! Njuk gawe surat wasiat? Tapi ya kalau serius banyaklah membaca. Khususnya artikel-artikel dari majalah yang memberikan ruang pada jurnalisme jenis ini. Seperti Roling Stones, the newyorker dan esquire. Dan ingat dalam jurnalisme fakta dan akurasi adalah segalanya.



No comments:

Post a Comment