Sunday, 27 May 2012

Penulis Tamu Keempat Belas #31harimenulis


Kadang saya tertawa geli ketika banyak adik-adik lucu menamakan dirinya seorang freelance fotografer. Bukannya merendahkan adik-adik lucu tersebut, tapi sepengetahuan saya memilih jalan freelance adalah sebuah keputusan penting. Sayang freelance kerap diasosiasikan dengan seseorang yang belum memiliki tempat bernaung baik itu media ataupun institusi tertentu. Padahal jelas pengertiannya lebih dari itu.
Hermitianta alias Mimit (Komunikasi 2004) adalah salah satu orang yang berani memilih profesi tersebut. Fotografer yang pernah mengikuti Workshop di Kamboja dan mengambil diploma fotografi di Manila ini saya minta berbagi mengenai pengalamannya menjadi seorang fotografer lepas. Awalnya ia merasa tak kompeten namun membaca catatan Mimit pastinya akan memberi banyak tuntunan bagi adik-adik lucu yang benar-benar ingin memilih jalur ini. (Ardi wilda)

Sedikit Catatan dari Ibukota
Oleh: Hermitianta

Pada awalnya terdengar kurang pas dan bijaksana jika saya diminta untuk berbagi pengalaman. Maksud saya, pengalaman apa sih yang saya punya, yang layak di-share Saya menghabiskan waktu untuk kuliah selama lima setengah tahun tanpa prestasi yang menonjol, bekerja (agak) profesional selama dua setengah tahun, menjadi freelancer baru setahun lebih sedikit.

Meski begitu, menuruti kata pak uztad, yang sedikit jika dibagi dengan ikhlas dan itikad baik, insya Allah jadi berkah. Amin. Dan inilah yang sedikit itu.

----------

Setiap orang menginginkan kebebasan. Hal yang menyenangkan, tapi selalu diikuti tuntutan kerja keras dan tanggung jawab besar. Demikian pula ketika jadi seorang freelancer. Free berarti bebas, lance berarti bergerak cepat, meluncur. Secara harfiah freelancer adalah orang yang berkebebasan namun harus bergerak cepat.

Menjadi freelancer berarti menjadi pekerja bebas, tanpa ikatan dan batasan dari luar, seringkali tanpa aturan. Ia bisa bekerja apapun dengan penghasilan berapapun. Ia mengerjakan project untuk klien, yang bersifat sementara dan bisa punya beberapa klien sekaligus. Klien tersebut bisa perusahaan, perorangan, dan bisa pula diri sendiri ketika mengerjakan personal project. Pada umumnya kerja freelancer dimulai dari proses pitching  suatu project, di mana beberapa freelancer atau agency terlibat dalam kompetisi "merebut hati" klien demi sebuah proyek. Sejalan dengan pengalaman, seorang freelancer senior tak lagi bergantung pada pitching untuk mendapatkan proyek. Hanya perlu beberapa kali pertemuan dengan orang yang sedang "punya hajat", dan voila! Ia sudah menandatangani kontrak.

Bagi yang bekerja pada perusahaan kadang begitu awam dengan sistem kerja para freelancer. Beberapa orang tua pun was-was ketika anaknya bercita-cita jadi seorang freelancer (saya dibesarkan di lingkungan keluarga dengan mindset kerja impian itu bekerja pada pemerintah). Sebagian lagi menganggap keberadaan profesi ini sebagai pengangguran terselubung. Petugas kantor imigrasi sangat paham hal ini. Percayalah, tak ada opsi freelance dalam formulir permohonan paspor. Kalaupun ada, jangan dipilih, hanya akan merepotkan diri sendiri.

Supaya tulisan saya lebih berbobot, akan saya paparkan beberapa hal penting di dunia para freelancer. Pertama, kebebasan adalah privilege, yang sangat bisa dibanggakan. Ketika pegawai dan karyawan punya 8 jam dan 5 hari kerja, dengan tuntutan efektivitas dan taat waktu, para freelancer bebas menentukan kapan, selama apa, sesibuk apa, dan di mana akan bekerja. Tapi jika tidak hati-hati hak istimewa ini akan menjadi bumerang. Terlalu bebas bisa berpangkal malas, karena tak ada yang mengontrol. Penurunan kualitas karya, karena tidak ada pihak yang menuntut secara spesifik. Terkadang menggampangkan pekerjaan karena jarang ada yang mengingatkan.

Kedua, network adalah yang terpenting. Portfolio yang bagus belum tentu bisa menghasilkan pendapatan yang besar. Percaya atau tidak, di ibukota karya besar tidak akan jadi apa-apa jika tidak bertemu orang yang berdaya. Dan tanpa kemampuan persuasi yang ciamik, seseorang akan dipermalukan oleh pesaing dengan hasil karya sepele dan remeh temeh tapi didukung presentasi yang meyakinkan di hadapan orang yang tepat. Setiap kesempatan adalah peluang untuk mengenal orang-orang baru terutama yang berpotensi mendukung pekerjaan. Dengan porsi yang pas, "menjilat" dan "menyombong" itu sangat dianjurkan. Sangat mungkin orang yang harus ditemui belum tentu orang yang tepat. Triknya adalah selalu cari kesempatan untuk bertemu yang lebih "kuat".

Ketiga, pentingnya menyadari peran diri, self-oriented. Kualifikasi personal harus dibangun sendiri, karena standar setiap orang pasti berbeda. Di sini penting untuk memahami diri sendiri dan memasang standar dan target pribadi. Karena hal itu menjadi tolok ukur perkembangan kemampuan. Juga membantu menentukan harga jual karya tiap freelancer. Sangat penting untuk punya standar (tinggi) dan memberikan apresiasi tinggi pada karya sendiri. Sebaiknya tidak terlalu "mengemis" bayaran. Hargai kerja keras. Tolak tawaran yang "terkesan" tidak menghargai intelektualitas. Kredibilitas pribadi jadi taruhannya. Dan banting harga bisa jadi bom waktu bagi para freelancer. "(harga) Promo" adalah gimmick untuk memulai. Dan promo tidak seharusnya berulang-ulang.

Memulai kerja freelance (sebenarnya) tidak susah. Asal suka bersosialisasi dan membangun jaringan. Bisa diawali dari lingkup akademis, teman seangkatan di jurusan. Kakak angkatan dan alumni satu fakultas, hingga lingkup keluarga besar alumni universitas. Yang aktif di kegiatan kepanitiaan luar kampus punya banyak kesempatan mengenal tokoh-tokoh penting. Ketika berawal dari pertemanan, kerjasama profesional bisa lebih mudah, meski kadang berpotensi jadi "kurang" profesional. Rumus klasik relationship selalu berlaku, yaitu saling percaya.

Believe It or Not, ...adalah sebuah acara televisi dari Robert Ripley. Sedangkan para freelancer mengawali semua dari sebuah mimpi.

Hermitianta Prasetya Putra
http://hermitianta.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment