Kadang saya
tertawa geli ketika banyak adik-adik lucu menamakan dirinya seorang freelance
fotografer. Bukannya merendahkan adik-adik lucu tersebut, tapi sepengetahuan
saya memilih jalan freelance adalah sebuah keputusan penting. Sayang freelance
kerap diasosiasikan dengan seseorang yang belum memiliki tempat bernaung baik
itu media ataupun institusi tertentu. Padahal jelas pengertiannya lebih dari
itu.
Hermitianta
alias Mimit (Komunikasi 2004) adalah salah satu orang yang berani memilih
profesi tersebut. Fotografer yang pernah mengikuti Workshop di Kamboja dan
mengambil diploma fotografi di Manila ini saya minta berbagi mengenai
pengalamannya menjadi seorang fotografer lepas. Awalnya ia merasa tak kompeten
namun membaca catatan Mimit pastinya akan memberi banyak tuntunan bagi
adik-adik lucu yang benar-benar ingin memilih jalur ini. (Ardi wilda)
Sedikit
Catatan dari Ibukota
Oleh:
Hermitianta
Pada
awalnya terdengar kurang pas dan bijaksana jika saya diminta untuk berbagi
pengalaman. Maksud saya, pengalaman apa sih yang saya punya, yang layak di-share Saya menghabiskan waktu untuk
kuliah selama lima setengah tahun tanpa prestasi yang menonjol, bekerja (agak)
profesional selama dua setengah tahun, menjadi freelancer baru setahun lebih sedikit.
Meski
begitu, menuruti kata pak uztad, yang sedikit jika dibagi dengan ikhlas dan
itikad baik, insya Allah jadi berkah. Amin. Dan inilah yang sedikit itu.
----------
Setiap
orang menginginkan kebebasan. Hal yang menyenangkan, tapi selalu diikuti
tuntutan kerja keras dan tanggung jawab besar. Demikian pula ketika jadi
seorang freelancer. Free berarti bebas, lance berarti bergerak cepat, meluncur. Secara harfiah freelancer adalah orang yang
berkebebasan namun harus bergerak cepat.
Menjadi freelancer berarti menjadi pekerja
bebas, tanpa ikatan dan batasan dari luar, seringkali tanpa aturan. Ia bisa
bekerja apapun dengan penghasilan berapapun. Ia mengerjakan project untuk klien, yang bersifat
sementara dan bisa punya beberapa klien sekaligus. Klien tersebut bisa
perusahaan, perorangan, dan bisa pula diri sendiri ketika mengerjakan personal project. Pada umumnya kerja freelancer dimulai dari proses pitching suatu project,
di mana beberapa freelancer atau agency terlibat dalam kompetisi
"merebut hati" klien demi sebuah proyek. Sejalan dengan pengalaman,
seorang freelancer senior tak lagi
bergantung pada pitching untuk
mendapatkan proyek. Hanya perlu beberapa kali pertemuan dengan orang yang
sedang "punya hajat", dan voila!
Ia sudah menandatangani kontrak.
Bagi yang
bekerja pada perusahaan kadang begitu awam dengan sistem kerja para freelancer. Beberapa orang tua pun
was-was ketika anaknya bercita-cita jadi seorang freelancer (saya dibesarkan di lingkungan keluarga dengan mindset kerja impian itu bekerja pada
pemerintah). Sebagian lagi menganggap keberadaan profesi ini sebagai
pengangguran terselubung. Petugas kantor imigrasi sangat paham hal ini.
Percayalah, tak ada opsi freelance
dalam formulir permohonan paspor. Kalaupun ada, jangan dipilih, hanya akan
merepotkan diri sendiri.
Supaya tulisan
saya lebih berbobot, akan saya paparkan beberapa hal penting di dunia para freelancer. Pertama, kebebasan adalah privilege, yang sangat bisa dibanggakan.
Ketika pegawai dan karyawan punya 8 jam dan 5 hari kerja, dengan tuntutan
efektivitas dan taat waktu, para freelancer
bebas menentukan kapan, selama apa, sesibuk apa, dan di mana akan bekerja.
Tapi jika tidak hati-hati hak istimewa ini akan menjadi bumerang. Terlalu bebas
bisa berpangkal malas, karena tak ada yang mengontrol. Penurunan kualitas karya,
karena tidak ada pihak yang menuntut secara spesifik. Terkadang menggampangkan
pekerjaan karena jarang ada yang mengingatkan.
Kedua, network adalah yang terpenting.
Portfolio yang bagus belum tentu bisa menghasilkan pendapatan yang besar.
Percaya atau tidak, di ibukota karya besar tidak akan jadi apa-apa jika tidak
bertemu orang yang berdaya. Dan tanpa kemampuan persuasi yang ciamik, seseorang
akan dipermalukan oleh pesaing dengan hasil karya sepele dan remeh temeh tapi
didukung presentasi yang meyakinkan di hadapan orang yang tepat. Setiap
kesempatan adalah peluang untuk mengenal orang-orang baru terutama yang
berpotensi mendukung pekerjaan. Dengan porsi yang pas, "menjilat" dan
"menyombong" itu sangat dianjurkan. Sangat mungkin orang yang harus
ditemui belum tentu orang yang tepat. Triknya adalah selalu cari kesempatan
untuk bertemu yang lebih "kuat".
Ketiga,
pentingnya menyadari peran diri, self-oriented.
Kualifikasi personal harus dibangun sendiri, karena standar setiap orang pasti
berbeda. Di sini penting untuk memahami diri sendiri dan memasang standar dan
target pribadi. Karena hal itu menjadi tolok ukur perkembangan kemampuan. Juga
membantu menentukan harga jual karya tiap freelancer.
Sangat penting untuk punya standar (tinggi) dan memberikan apresiasi tinggi
pada karya sendiri. Sebaiknya tidak terlalu "mengemis" bayaran.
Hargai kerja keras. Tolak tawaran yang "terkesan" tidak menghargai
intelektualitas. Kredibilitas pribadi jadi taruhannya. Dan banting harga bisa
jadi bom waktu bagi para freelancer.
"(harga) Promo" adalah gimmick untuk
memulai. Dan promo tidak seharusnya berulang-ulang.
Memulai
kerja freelance (sebenarnya) tidak
susah. Asal suka bersosialisasi dan membangun jaringan. Bisa diawali dari
lingkup akademis, teman seangkatan di jurusan. Kakak angkatan dan alumni satu
fakultas, hingga lingkup keluarga besar alumni universitas. Yang aktif di
kegiatan kepanitiaan luar kampus punya banyak kesempatan mengenal tokoh-tokoh
penting. Ketika berawal dari pertemanan, kerjasama profesional bisa lebih
mudah, meski kadang berpotensi jadi "kurang" profesional. Rumus
klasik relationship selalu berlaku, yaitu saling percaya.
Believe It
or Not, ...adalah sebuah acara televisi dari Robert Ripley. Sedangkan para freelancer mengawali semua dari sebuah
mimpi.
Hermitianta
Prasetya Putra
http://hermitianta.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment