Monday 24 April 2017

PENULIS TAMU KETIGA #31HARIMENULIS 2017

Selamat malam, rekan-rekan petarung 31 Hari Menulis! Gimana nih semangat menulisnya? masih kenceng? Biar tambah semangat, malam ini abang kembali hadirkan penulis tamu yang ketiga! Nah, penulis tamu kita kali ini, datang dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, jurusan Sastra Prancis. Doi ini adalah salah satu redaktur website kibul.in. Buat yang suka bahasan tentang sastra, seni dan budaya, boleh banget nanti mampir ke website kibul.in, ya!
Okelah kalau begitu, langsung aja yuk, kita baca tulisan dari Ari Bagus Panuntun :)
Selamat membaca!

***

Perkebunan Simalakama
Oleh Ari Bagus Panuntun



Sebuah obrolan panjang di Kantin Bonbin suatu hari pernah menghasilkan sebuah teori: dalam hidup hanya ada dua urusan, urusan bisnis dan urusan kemanusiaan. Urusan bisnis adalah segala tindakan yang memperhitungkan untung rugi atau segala perihal tentang apa yang kamu dapat setelah kamu memberi. Sementara urusan kemanusiaan didefinisikan sebagai tindakan yang hadir dari perasaan yang paling purba, yang tujuannya demi kebaikan hidup umat manusia, dan tentu saja tidak ada itung-itungan. Teori tersebut tentu saja terlalu disederhanakan. Namun soal benar atau tidaknya, silahkan renungkan sendiri. Sebab bukan itu intinya. Dan mari lekas kita lanjutkan.

Kita tumbuh dewasa di zaman urusan bisnis musti lebih diutamakan ketimbang urusan kemanusiaan. Serba susah jadinya. Bahkan untuk urusan yang paling mendasar bagi umat manusia: Makan.

Dahulu, makan barangkali dipandang sebagai aktivitas biologis semata. Tapi kini kata siapa. Makan pun kini urusan bisnis. Entah bisnis eksistensi atau bisnis ekonomis.

Perihal makan demi bisnis eksistensi, makan kini telah menjadi aktivitas self-identifying. Lewat makan, orang berusaha mengkonstruksi identitasnya. Barangkali kita bisa menengok Instagram atau Path yang kini jadi arena balap unggah foto makanan. Dengan sekali unggah gambar es matcha, beragam identitas baru akan segera melekat pada masing-masing individu. Bisa jadi si kaya, bisa jadi si gaul, bisa jadi sebaliknya. Makan bukan lagi soal kenyang/tidak kenyang atau enak/tidak enak, makan kini telah menjadi konsumsi akan nilai simbol – sebagaimana ciri masyarakat konsumtif à la Baudrillard. Tapi sebaiknya soal ini tak kita lanjutkan, sebab selain cenderung judgemental, perihal ini juga tak sebegitu menakutkan dibanding urusan bisnis selanjutnya, yakni bisnis ekonomis.

Bisnis ekonomis dalam hal ini merujuk pada bisnis kapitalis, yaitu bisnis yang kita dapat dari Teori Maslow, bahwa tujuan bisnis tak lain adalah demi akumulasi keuntungan. Jika sudah demikian, maka urusan kemanusiaan akan dengan entengnya dikesampingkan. Dan dalam urusan makan, soal ini amatlah menyedihkan. Kita hidup di era dimana pasar menawarkan dua jenis makanan, yaitu organik dan non-organik. Yang organik memang sehat karena diolah tanpa bahan kimia, tapi harganya kelewat mahal. Sedang yang non-organik tentu saja murah dan mudah kita temukan, sayang makanannya berasa racun serangga.

Hampir setiap tahun, kita menemukan berita tentang orang yang mati keracunan duku—tahun lalu warga desa saya sendiri jadi korbannya. Saya bahkan mulai pesimis akan sehatnya sayur sop. Dulu kita mengimajinasikan sop sebagai kesegaran yang bernutrisi. Hari ini? Sayur sop berisi kentang, tomat, wortel, atau daun bawang yang setiap harinya diguyur pestisida. Maka 40 tahun kedepan, ada berapa gram endapan logam berat sisa pestisida di tubuh kita?

Saya punya beberapa teman calon sarjana yang punya cita-cita jadi petani sayur dan bunga. Ia berceloteh tentang hidup yang sederhana di lereng gunung dengan teras rumah penuh rumput jepang dan kembang mawar plus pot-pot berisi cabai, timun, kacang polong, kacang panjang, juga daun bayam yang di tumbuhkan dengan siraman air segar saja. Aih..Semuanya serba organik !

Asyik benar nampaknya.

Ah, tapi kan untuk begitu juga butuh modal?

Sungguh bagi kita yang kere ini, cerita tentang negeri dengan ratusan jenis sayur dan buah warna-warni nan menggoda hanyalah dongeng belaka. Kita tidak sedang hidup disana. Kita tengah hidup di tengah perkebunan homogen. Dari Ciwidey, Dieng sampai Bromo sana, ternyata kita dikelilingi satu model perkebunan saja: perkebunan simalakama.

Kita konsumsi sampah
Kita produksi limbah
Kita konsumsi sampah
Kita produksi limbah

Hijau - Efek Rumah Kaca

No comments:

Post a Comment