Thursday 18 June 2015

Penulis Tamu Ketiga #31 Hari Menulis 2015

Datang tulisan lagi !
Mendekati akhir dari program ini (hiks..) berdatangan tulisan-tulisan dari berbagai oknum terkait. dan kini tulisan datang dari salah satu alumni ilmu komunikasi UGM. Selain sering menulis di salah satu majalah myuzik ternama, Lelaki yang sedang berjuang menyicil KPR ini juga menjadi manajer band yang baru-baru ini dipanggil KPK !
Sambil menunggu berbuka puasa boleh lah mari kita simak tulisan dari mas-mas LIPI yang satu ini.


I’m With The Band
Oleh Fakhri Zakaria

“Kok bisa ketemu Duta?”
“Wah iri bisa ngobrol di kamar hotel…”
“Gimana caranya?”

Ya jadi teman mereka. Berteman dengan Akhdiyat Duta Modjo atau lebih dikenal dengan Duta Sheila On 7 mungkin tidak pernah terbayangkan saat saya berjalan selepas bubaran sekolah ke toko kaset untuk menebus album selftitled yang jadi debut duta besar Yogyakarta untuk musik pop Indonesia ini pada suatu siang di Bogor, 16 tahun silam.

Juga tidak ada dalam pikiran kalau sosok yang sebelumnya hanya bisa saya lihat kejauhan dari atas panggung dan layar televisi sekarang menawarkan sebungkus snack yang katanya,” Enak biyanget kowe kudu njajal” sambil ngobrol segala macam hal. Mulai dari brengseknya John Mayer yang bisa gonta-ganti cewek seperti ganti senar gitar sampai jebloknya prestasi AC Milan, di kamar hotel tempatnya menginap. “Obrolan konco, udu obrolan jurnalis,” katanya.

Menjadi jurnalis (meski nggak pernah punya kartu pers) adalah gerbang yang membuka saya untuk bertemu idola. Untuk menjadikan mereka setara. Untuk melihat mereka sebagai manusia biasa. 

“Kamu gak lulus jadi murid Lester Bangs!,” kata Arman Dhani. Kamu semua yang waktu di Twitter lebih lama dari waktu mbojo dan bertemu dosen wali pasti tahu siapa dia.

Ada kredo suci di ranah jurnalisme musik. “You cannot make friends with the rock stars…,” begitu kira-kira titah dari Lester Bangs yang jadi semacam perintah suci bagi segenap insan jurnalis musik atau yang kegiatannya berhubungan dengan itu. Secara mudah, rock star harus diposisikan sebagai manusia biasa.

Pernah ada rekan yang bertanya apa yang paling sulit dari pekerjaan ini. “Saat kamu menulis tentang musisi idolamu sendiri,” begitu jawaban saya. Semua luapan emosi juga impian masa kecil harus sejenak dikubur dalam-dalam jika bertemu musisi idola untuk sebuah tugas jurnalistik. Ini tentu untuk sebuah tulisan yang obyektif, namun juga tidak kehilangan sentuhan personal. Seperti yang diajarkan salah satu mentor jurnalisme musik saya mas Taufiq Rahman dari Jakartabeat, jurnalisme musik adalah perihal menulis tentang manusia.

Menjadikan manusia artinya memposisikan diri setara. Bukan sebagai fans yang terjebak dalam ritus pemujaan idola tapi sebagai teman bicara yang asyik. Bagaimana caranya? Ya ajukan pertanyaan yang baik. Bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang baik? Ya kenalan dong.

Pernah dalam suatu tugas liputan saya bersama dengan seorang jurnalis surat kabar umum. Well, meski saya paham dia bukan spesialis tulisan musik, paling tidak ada waktu barang semenit dua menit untuk googling supaya tidak ada pertanyaan aneh, “Padi itu genre musiknya apa?”. Dor!

Pertanyaan seperti genre musik, influence, juga tahun terbentuk adalah pertanyaan template yang jawabannya saat ini bisa dicari di Google. Dalam beberapa kasus, pertanyaan tipe ini bagi saya tak lebih dari sekedar ice breaking. Membuang waktu dengan pertanyaan tadi artinya membuang kesempatan emas untuk lebih dalam mengulik hal esensial. Ingat, lebih mudah janjian dengan dosen pembimbing skripsi daripada janjian dengan musisi.

Salah satu hasil dari riset yang baik salah satunya adalah pertanyaan yang bernas. Jurnalis dengan pertanyaan yang baik akan selalu diingat oleh narasumbernya.  Meski menyenangkan, saya selalu punya beban kalau mewawancara musisi idola. Pertama, berusaha tetap cool meski masih ada sisa-sisa star struck syndrome. Kedua, saya harus mampu mengungkap hal-hal yang luput dari perhatian lapak sebelah.

Riset yang baik pada akhirnya akan menghindarkan kita dari pertanyaan-pertanyaan macam tadi. Saya sendiri percaya riset adalah kekuatan tulisan. Dari riset yang baik kita akan menemukan sudut pandang dan konteks tulisan kita. Dua hal tadi menurut saya menjadi aspek pembeda tiap-tiap penulis. Saya sendiri percaya, seburuk apapun reputasi artistik suatu band akan menjadi tulisan yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan selama penulisnya jeli.

Selain itu, riset juga akan menjadi titian yang memandu dalam proses penulisan. Saya sendiri memasukkan sesi riset dalam satu lini waktu dengan proses membentuk bangunan tulisan. Ibaratnya, jika outline adalah tiang pancangnya maka riset menjadi kerangka yang mengatur bentuk bangunaan.

Internet sudah memudahkan segalanya, tapi jangan lupa untuk selalu menggali sumber-sumber lainnya. Dari acara musik pagi yang ya…begitu-begitu saja sampai sampul-sampul album berisi lirik lagu dan ucapan terima kasih, semuanya adalah bekal kerja. Percayalah, kejelian jurnalis adalah hal yang menyenangkan bagi musisi.

Selamat bersenang-senang.

Fakhri Zakaria. Saat ini sedang menyelesaikan proyek buku tentang label rekaman milik pemerintah, Lokananta sembari mengirim tulisan untuk Rolling Stone Indonesia dan menerima pekerjaan sebagai penyunting lepas. Bekerja untuk membayar cicilan rumah dan jajan rock di sebuah lembaga pemerintah. 

No comments:

Post a Comment