Mendekati akhir dari program ini (hiks..) berdatangan tulisan-tulisan dari berbagai oknum terkait. dan kini tulisan datang dari salah satu alumni ilmu komunikasi UGM. Selain sering menulis di salah satu majalah myuzik ternama, Lelaki yang sedang berjuang menyicil KPR ini juga menjadi manajer band yang baru-baru ini dipanggil KPK !
Sambil menunggu berbuka puasa boleh lah mari kita simak tulisan dari mas-mas LIPI yang satu ini.
I’m With The Band
Oleh Fakhri Zakaria
“Kok bisa ketemu Duta?”
“Wah iri bisa ngobrol di kamar hotel…”
“Gimana caranya?”
Ya jadi teman mereka. Berteman dengan Akhdiyat Duta Modjo atau lebih
dikenal dengan Duta Sheila On 7 mungkin tidak pernah terbayangkan saat saya
berjalan selepas bubaran sekolah ke toko kaset untuk menebus album selftitled yang jadi debut duta besar
Yogyakarta untuk musik pop Indonesia ini pada suatu siang di Bogor, 16 tahun
silam.
Juga tidak ada dalam pikiran kalau sosok yang sebelumnya hanya bisa
saya lihat kejauhan dari atas panggung dan layar televisi sekarang menawarkan
sebungkus snack yang katanya,” Enak biyanget kowe kudu njajal” sambil ngobrol segala macam hal. Mulai dari
brengseknya John Mayer yang bisa gonta-ganti cewek seperti ganti senar gitar sampai
jebloknya prestasi AC Milan, di kamar hotel tempatnya menginap. “Obrolan konco, udu obrolan jurnalis,” katanya.
Menjadi jurnalis (meski nggak pernah
punya kartu pers) adalah gerbang yang membuka saya untuk bertemu idola. Untuk
menjadikan mereka setara. Untuk melihat mereka sebagai manusia biasa.
“Kamu gak lulus jadi murid Lester Bangs!,” kata Arman Dhani. Kamu
semua yang waktu di Twitter lebih lama dari waktu mbojo dan bertemu dosen wali pasti tahu siapa dia.
Ada
kredo suci di ranah jurnalisme musik. “You
cannot make friends with the rock stars…,” begitu kira-kira titah dari
Lester Bangs yang jadi semacam perintah suci bagi segenap insan jurnalis musik
atau yang kegiatannya berhubungan dengan itu. Secara mudah, rock star harus diposisikan sebagai manusia
biasa.
Pernah ada
rekan yang bertanya apa yang paling sulit dari
pekerjaan ini. “Saat kamu menulis tentang musisi idolamu sendiri,” begitu
jawaban saya. Semua luapan emosi juga impian
masa kecil harus sejenak dikubur dalam-dalam jika bertemu musisi idola untuk
sebuah tugas jurnalistik. Ini tentu untuk sebuah tulisan yang obyektif, namun
juga tidak kehilangan sentuhan personal. Seperti yang diajarkan salah satu
mentor jurnalisme musik saya mas Taufiq Rahman dari Jakartabeat, jurnalisme
musik adalah perihal menulis tentang manusia.
Menjadikan manusia artinya memposisikan diri setara. Bukan
sebagai fans yang terjebak dalam
ritus pemujaan idola tapi sebagai teman bicara yang asyik. Bagaimana caranya?
Ya ajukan pertanyaan yang baik. Bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang baik?
Ya kenalan dong.
Pernah dalam suatu tugas liputan saya bersama dengan seorang
jurnalis surat kabar umum. Well, meski
saya paham dia bukan spesialis tulisan musik, paling tidak ada waktu barang
semenit dua menit untuk googling supaya
tidak ada pertanyaan aneh, “Padi itu genre
musiknya apa?”. Dor!
Pertanyaan seperti genre
musik, influence, juga tahun
terbentuk adalah pertanyaan template yang
jawabannya saat ini bisa dicari di Google. Dalam beberapa kasus, pertanyaan
tipe ini bagi saya tak lebih dari sekedar ice
breaking. Membuang waktu dengan pertanyaan tadi artinya membuang kesempatan
emas untuk lebih dalam mengulik hal esensial. Ingat, lebih mudah janjian dengan
dosen pembimbing skripsi daripada janjian dengan musisi.
Salah satu hasil dari riset
yang baik salah satunya adalah pertanyaan yang bernas. Jurnalis dengan
pertanyaan yang baik akan selalu diingat oleh narasumbernya. Meski menyenangkan, saya selalu punya beban
kalau mewawancara musisi idola. Pertama, berusaha tetap cool meski masih ada sisa-sisa star
struck syndrome. Kedua, saya harus mampu mengungkap hal-hal yang luput dari
perhatian lapak sebelah.
Riset yang baik pada
akhirnya akan menghindarkan kita dari pertanyaan-pertanyaan macam tadi. Saya sendiri percaya riset adalah kekuatan tulisan.
Dari riset yang baik kita akan menemukan sudut pandang dan konteks tulisan
kita. Dua hal tadi menurut saya menjadi aspek pembeda tiap-tiap penulis. Saya
sendiri percaya, seburuk apapun reputasi artistik suatu band akan menjadi tulisan
yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan selama penulisnya jeli.
Selain itu, riset juga akan menjadi titian yang memandu
dalam proses penulisan. Saya sendiri memasukkan sesi riset dalam satu lini
waktu dengan proses membentuk bangunan tulisan. Ibaratnya, jika outline adalah tiang pancangnya maka
riset menjadi kerangka yang mengatur bentuk bangunaan.
Internet sudah memudahkan segalanya, tapi jangan lupa
untuk selalu menggali sumber-sumber lainnya. Dari acara musik pagi yang
ya…begitu-begitu saja sampai sampul-sampul album berisi lirik lagu dan ucapan
terima kasih, semuanya adalah bekal kerja. Percayalah, kejelian jurnalis adalah
hal yang menyenangkan bagi musisi.
Selamat bersenang-senang.
Fakhri Zakaria. Saat ini sedang menyelesaikan proyek buku tentang
label rekaman milik pemerintah, Lokananta sembari mengirim tulisan untuk
Rolling Stone Indonesia dan menerima pekerjaan sebagai penyunting lepas.
Bekerja untuk membayar cicilan rumah dan jajan rock di sebuah lembaga
pemerintah.
No comments:
Post a Comment