Sunday 9 June 2013

Penulis Tamu Keenam #31 Hari Menulis


yak penulis tamu berikutnya adalah seorang wanita dengan rambut ikal dan tubuh sintal. Dia teman SMA saya, Talitha Marcia Farid namanya, saat tulisan ini dibuat  ia tengah berjuang untuk menggapai gelar S.Ds –nya padahal lulus SMAnya bareng saya. ceritanya dia kuliah di Desain Interior FSRD ITB. Talitha atau nama panggungnya Tatha ialah Penggemar berat puisi, gedung pencakar langit, dan The Sims. Masa depannya masih buram tertutup kabut (walaupun sudah hampir sarjana), tapi cita-cita terbesarnya adalah tinggal di apartemen yang dicicilnya sendiri.

(derry s.)


ilmu Komunikasi Ruang
oleh 
Talitha Marcia


Saya tidak tahu persis apa definisi ‘komunikasi’ bagi anak komunikasi, tapi bagi saya pribadi, komunikasi itu hakikatnya menyampaikan pesan. Pesan apapun. Kepada siapapun. Lewat medium apapun sepanjang si penerima dan penyampai sepakat.  Tentu saja anak-anak komunikasi boleh bilang saya sok tahu, tapi menurut saya, menyanyi itu juga bentuk komunikasi, mediumnya nada. Menari itu juga berkomunikasi, mediumnya gerak. Well, di desain interior, sebagian besar yang kami lakukan (dan pelajari) hakikatnya juga berkomunikasi. Cuma, mediumnya ruang.

Hah? Komunikasi lewat ruang? Gimana caranya?
Lao Tzu bilang, ruang adalah realitas tidak nyata yang dapat dinyatakan melalui hal-hal yang nyata. Beliau yakin bahwa kekosongan lebih hakiki dari massa pembentuknya. Dengan kata lain, yang tidak bisa ditangkap mata jauh lebih berarti daripada yang bisa. Puitis ya? Ini definisi ruang favorit saya sejauh ini, walaupun lewat Google kita bisa bertemu banyak lagi definisi yang lain.

Terus? Apa hubungannya sama desainer interior?
Well, kami mencoba memberi arti dari kekosongan itu. Kekosongan jadi medium kami dalam berkomunikasi. Kami (mencoba) mengisi kekosongan itu dengan pesan yang ingin disampaikan, dengan cara mengubah massa pembentuknya. Pesannya macam-macam, tergantung request aja. Biasanya kami ‘menjawab’ permasalahan yang diajukan, tapi tidak selalu mutlak seperti itu.

Pesan paling dasar biasanya yang berkaitan dengan fungsi. Misalnya, kita diminta mendesain dapur, berarti kita akan mendaftar fungsi-fungsi dapur, alat yang akan mendukung fungsi tersebut, bagaimana pemasangan dan konfigurasi, pilih warna dan tekstur, dan Voila! Jadi. Well, tapi kebanyakan desain tidak berhenti sampai disitu.

Di level selanjutnya kita diminta bercerita tentang orang yang akan menggunakan dapur. Jadi, kita mulai menyelidiki si Ibu yang punya dapur. Apa hobinya, seperti apa rutinitasnya, sampai (kalau perlu) berapa jumlah mantannya. Kesannya berlebihan? Mungkin, tapi semakin banyak informasi memungkinkan kami menyelipkan sebanyak mungkin sentuhan personal dan menjadikan dapurnya mencerminkan si pengguna.

Dalam tataran ruang publik, kami menyelipkan merk dan pencitraan sebagai pesan, juga nilai-nilai komunitas yang berada di fasilitas tersebut. Kadang-kadang kami juga diminta menyisipkan kampanye tertentu,; go green, misalnya. Makin banyak pesan, makin kompleks perancangannya, dan di tingkat ini, yang paling rumit bukan lagi soal pilih warna dan gambar denah, tapi menyusun konsep awalnya. Iya, singkatnya sih, banyak galaunya doang, eksekusi belakangan.

Udah?Sampai segitu aja kerjanya? Belum.
Tugas lain, yang menurut saya paling sering dilupakan, adalah mendidik lewat ruang. Di salah satu kuliah, saya diberitahu bahwa salah satu tugas seorang Profesional adalah mendidik. Dan itu berarti mendidik tidak hanya tugas guru, dosen, pemerintah, atau orang tua. Mendidik juga tanggung jawab tiap orang yang mengklaim punya profesi. Termasuk kami, desainer ruang.

Tentu saja caranya nggak selalu dengan pergi ke ruang kelas dan mengajar, tapi mendidik masyarakat secara tidak langsung lewat karya kami. Dalam tiap karya, harus selalu ada upaya untuk menjadikan manusia penghuninya hidup dengan baik, sekaligus tercerdaskan tentang hidup baik itu sendiri.

Orang Indonesia, entah desainer atau kliennya, masih belum banyak sadar tentang hal ini. Bagi sebagian besar orang, ruang yang di’desain’ itu ruang yang keren-modern-mengkilat macem di majalah-majalah interior. Nggak salah sih, tapi sesungguhnya lebih dari itu. Intinya, balik lagi seperti yang Lao Tzu bilang, yang paling penting bukan desain secara fisik, tapi upaya di baliknya. Desain yang baik bukan cuma yang menarik mata, tapi juga yang mempu menyentuh hati. Karena tiap hal yang mampu menyentuh hati akan bertahan bersama waktu.


No comments:

Post a Comment