yak penulis tamu berikutnya adalah seorang wanita dengan rambut ikal dan tubuh sintal. Dia teman SMA saya, Talitha Marcia Farid namanya, saat tulisan ini dibuat ia tengah berjuang untuk menggapai gelar S.Ds –nya padahal lulus SMAnya bareng saya. ceritanya dia kuliah di Desain Interior FSRD ITB. Talitha atau nama panggungnya Tatha ialah Penggemar berat puisi, gedung pencakar langit, dan The Sims. Masa depannya masih buram tertutup kabut (walaupun sudah hampir sarjana), tapi cita-cita terbesarnya adalah tinggal di apartemen yang dicicilnya sendiri.
(derry s.)
ilmu Komunikasi Ruang
oleh
Talitha Marcia
oleh
Talitha Marcia
Saya tidak tahu persis apa definisi
‘komunikasi’ bagi anak komunikasi, tapi bagi saya pribadi, komunikasi itu hakikatnya
menyampaikan pesan. Pesan apapun. Kepada siapapun. Lewat medium apapun
sepanjang si penerima dan penyampai sepakat.
Tentu saja anak-anak komunikasi boleh bilang saya sok tahu, tapi menurut
saya, menyanyi itu juga bentuk komunikasi, mediumnya nada. Menari itu juga berkomunikasi,
mediumnya gerak. Well, di desain interior, sebagian besar yang kami lakukan
(dan pelajari) hakikatnya juga berkomunikasi. Cuma, mediumnya ruang.
Hah? Komunikasi lewat ruang? Gimana caranya?
Lao Tzu bilang, ruang adalah realitas tidak
nyata yang dapat dinyatakan melalui hal-hal yang nyata. Beliau yakin bahwa kekosongan
lebih hakiki dari massa pembentuknya. Dengan kata lain, yang tidak bisa ditangkap mata jauh lebih berarti daripada yang bisa.
Puitis ya? Ini definisi ruang favorit saya sejauh ini, walaupun lewat Google
kita bisa bertemu banyak lagi definisi yang lain.
Terus? Apa hubungannya sama desainer interior?
Well, kami mencoba memberi arti dari kekosongan
itu. Kekosongan jadi medium kami dalam berkomunikasi. Kami (mencoba) mengisi
kekosongan itu dengan pesan yang ingin disampaikan, dengan cara mengubah massa
pembentuknya. Pesannya macam-macam, tergantung request aja. Biasanya kami
‘menjawab’ permasalahan yang diajukan, tapi tidak selalu mutlak seperti itu.
Pesan paling dasar biasanya yang berkaitan
dengan fungsi. Misalnya, kita diminta mendesain dapur, berarti kita akan
mendaftar fungsi-fungsi dapur, alat yang akan mendukung fungsi tersebut, bagaimana
pemasangan dan konfigurasi, pilih warna dan tekstur, dan Voila! Jadi. Well,
tapi kebanyakan desain tidak berhenti sampai disitu.
Di level selanjutnya kita diminta bercerita
tentang orang yang akan menggunakan dapur. Jadi, kita mulai menyelidiki si Ibu
yang punya dapur. Apa hobinya, seperti apa rutinitasnya, sampai (kalau perlu)
berapa jumlah mantannya. Kesannya berlebihan? Mungkin, tapi semakin banyak
informasi memungkinkan kami menyelipkan sebanyak mungkin sentuhan personal dan
menjadikan dapurnya mencerminkan si pengguna.
Dalam tataran ruang publik, kami menyelipkan
merk dan pencitraan sebagai pesan, juga nilai-nilai komunitas yang berada di
fasilitas tersebut. Kadang-kadang kami juga diminta menyisipkan kampanye
tertentu,; go green, misalnya. Makin banyak pesan, makin kompleks
perancangannya, dan di tingkat ini, yang paling rumit bukan lagi soal pilih
warna dan gambar denah, tapi menyusun konsep awalnya. Iya, singkatnya sih, banyak galaunya doang, eksekusi belakangan.
Udah?Sampai segitu aja kerjanya? Belum.
Tugas lain, yang menurut saya paling sering
dilupakan, adalah mendidik lewat ruang. Di salah satu kuliah, saya diberitahu
bahwa salah satu tugas seorang Profesional adalah mendidik. Dan itu berarti
mendidik tidak hanya tugas guru, dosen, pemerintah, atau orang tua. Mendidik
juga tanggung jawab tiap orang yang mengklaim punya profesi. Termasuk kami,
desainer ruang.
Tentu saja caranya nggak selalu dengan pergi ke
ruang kelas dan mengajar, tapi mendidik masyarakat secara tidak langsung lewat
karya kami. Dalam tiap karya, harus selalu ada upaya untuk menjadikan manusia
penghuninya hidup dengan baik, sekaligus tercerdaskan tentang hidup baik itu
sendiri.
Orang Indonesia, entah desainer atau kliennya,
masih belum banyak sadar tentang hal ini. Bagi sebagian besar orang, ruang yang
di’desain’ itu ruang yang keren-modern-mengkilat macem di majalah-majalah
interior. Nggak salah sih, tapi sesungguhnya lebih dari itu. Intinya, balik
lagi seperti yang Lao Tzu bilang, yang paling penting bukan desain secara
fisik, tapi upaya di baliknya. Desain yang baik bukan cuma yang menarik mata,
tapi juga yang mempu menyentuh hati. Karena tiap hal yang mampu menyentuh hati
akan bertahan bersama waktu.
No comments:
Post a Comment