Wednesday 5 June 2013

Penulis Tamu Keempat #31 hari menulis

Penulis tamu kali ini bernama Karina Ayu Pradita kini Ia tengah menyelesaikan studi profesi untuk memperoleh gelar Dokter Hewan di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta . Baginya, menulis adalah membahasakan apa yang tidak mampu diutarakan suara. Mencintai Chiffon Cake pada gigitan pertama. Bukti cintanya pada Chiffon Cake bisa dilihat di www.karinapradita.tumblr.com dan www.karinaayupradita.wordpress.com. Telah menjadikan Chiffon Cake dalam bentuk novel dan diterbitkan oleh Media Pressindo. 
Say hello to her at Twitter: @karinpradita or Facebook: Karina A. Pradita

ANALOGI SEPATU
Oleh: Karina Ayu Pradita

Selain celana jins, saya paling susah jika ingin membeli barang yang orang-orang di sekitar saya sering bilang namanya sepatu. Kalau celana jins, saya sering terbentur dengan panjang celana yang kadang berlebihan, sampai menyapu-nyapu lantai ketika dicoba. Padahal, itu adalah nomor yang sudah cocok ukuran pinggangnya dengan pinggang saya. Pusing jadinya.
Berbeda lagi dengan sepatu. Jika celana jins tadi karena tubuh saya yang mungil dan  cenderung pendek, maka kebanyakan celana jins-nya akan kepanjangan, kebanyakan sepatu pada umumnya justru kesempitan bila dicoba di kaki saya. Well, untuk ukuran perempuan yang normalnya adalah 37-39, kaki saya justru memilih memuatkan diri di sepatu yang berukuran 40-41. Itupun belum termasuk kalau sepatu diklasifikasikan menurut merk yang mempunyai standar ukuran sendiri-sendiri. Jadi singkatnya, ketika pada satu mrek kaki saya berada pada ukuran 40-41, di mrek lain bisa jadi kaki saya berukuran 42.
Solusinya adalah, saya harus merelakan diri untuk mencari celana jins ataupun sepatu yang pas ukuran saya dengan perjuangan yang juga tidak biasa. Masuk keluar toko, coba sana-sini, sampai akhirnya bisa menemukan yang benar-benar pas di kaki, pas modelnya, juga pas ukurannya.
Belakangan saya menyadari, bahwa memilih pasangan tidak ubahnya seperti memilih sepatu. Orang yang akan mendampingi, dan juga ingin kita dampingi haruslah orang yang benar-benar pas di hati kita. Bayangkan, bila kita memilih sepatu yang tidak sesuai ukuran kaki kita, kemudian memaksakan diri untuk memakainya, yang ada mungkin kaki kita akan lecet-lecet karenanya. Dan bayangkan pula bila kita memilih pasangan yang tidak sesuai dengan yang hati kita butuhkan, misalnya kita hanya melihat dari segi fisik saja, tanpa melihat adanya kecocokan dalam diri satu sama lain, maka yang ada justru hanya keterpaksaan, dan pada akhirnya mungkin akan menyakiti satu sama lain.
Saya paham benar bahwa di dunia ini sesungguhnya bila kita amati, tidak ada manusia yang benar-benar cocok satu sama lain, yang ada hanyalah kepedulian untuk saling mengerti kemudian memahami satu sama lain, sehingga kecocokkan tersebut terjadi.
Dan analogi sederhana mengenai sepatu tadi mampu membuka mata saya, bahwa yang namanya pasangan tidak boleh sembarangan, harus yang klik dan ketika saya bertemu dengan orang yang akan menjadi pasangan saya itu, saya sudah lebih dulu tahu bahwa he is the one.
Begitu? :) 

No comments:

Post a Comment