Awalnya saya tak menaruh perhatian banyak pada dunia
kuliner. Bodohnya saya dulu adalah menganggap menulis kuliner sebagai
kesia-siaan yang tidak seru. Namun menjamurnya blog kuliner dan boomingnya
kuliner sebagai sebuah tema di media membuat saya baerpikir ulang. Ada semacam
bisikan, “Lo harus mempelajari ini”. Maka saya pun mulai mengamini pemikiran
tersebut.
Saya kemudian bertemu dengan Anisa Titisari (tentunya lewat
dunia maya). Ia memiliki sebuah blog kuliner (Kenyangbego) yang meruntuhkan
segala persepsi saya soal menulis kuliner. Menulis kuliner adalah sebuah seni
tersendiri yang melampaui urusan lidah. Belum lama ini misalnya blognya
memposting kajian mengenai perjamuan terakhir Yesus. Tulisan yang sangat dalam
dan menarik dari sudut pandang hubungan manusia dan makanan. Pada kesempatan
ini, Anisa membagi cerita mengenai pengalamannya menulis kuliner. Bagai sebuah
pancake, tulisan ini tak hanya menarik dilihat namun mengasyikkan untuk kita
kunyah. Seperti tulisan dalam kardus kondangan, saya hanya bisa mengucapkan
“Selamat Menikmati” tulisan ini. (Ardi
Wilda)
Kuliner Dalam Paragraf
Semenjak saya meracau
disebuah laman beraroma masakan, kemudian saya dengan senang hati menyita waktu
di depan komputer untuk merangkai kata. Seperti sekarang, tiba-tiba saja layar
monitor saya mengeluarkan asap dan bau Nasi Goreng yang langsung menyebar ke
seluruh ruangan. Beberapa detik setelahnya, saya berhenti menulis. Layar
monitor saya berubah menjadi hidangan Nasi Goreng Seafood dengan telur mata
sapi bulat di atasnya dan taburan bawang goreng renyah. Pernah (lagi) suatu
malam jari jemari saya mengetik kata Pancake. Padahal seingat saya saat itu
sedang mengerjakan laporan skripsi. Ajaib ya.
Makanan memang sesuatu yang magis. Setidaknya bagi saya.
Saya suka makan. Pun
tidak ada yang istimewa. Semua orang sepertinya penyuka makanan juga. Malahan
untuk sebagian perempuan (bahkan pria), saya sama bahayanya dengan Junk Food dan kalori. Saat memulai baris
pertama paragraf kuliner, yang saya pikirkan adalah penampilan dan aroma dari
sebuah masakan. Tak susah, karena ingatan detail tentang makanan sama kuatnya
dengan perasaan. Saya mendefinisikan perasaan saya terlebih dahulu saat melihat
hidangan sementara hidung saya sudah penuh dengan aroma masakan. Anggap saja
saya memesan hidangan Udang Asam Manis. Ia begitu sempurna dengan wajah
memerah. Aroma daun bawang yang ditaburkan di atasnya, potongan-potongan nanas
meleleh mengeluarkan rasa manis dan udang-udang yang tersaji, basah bermandikan
saus asam yang menggoda. Perasaan saya sudah mulai terbang. Satu suapan hinggap
di rongga mulut, rasa asam dan manis menyatu sempurna menggelitik lidah dan
kerongkongan. Itulah saat dimana saya sudah terbang. Saat dimana saya bisa
bilang, mereka terbaik. Sedetik kemudian, otak saya langsung tancap gas mememorikan
segala sesuatunya selengkap mungkin. Jari jemari pun tak mau ketinggalan menyusun
kalimat apik.
Dunia kuliner adalah
soal rasa. Banyak yang berpendapat, menulis tentang makanan yang paling penting
adalah rasa. Tak perlu lah memikirkan segala tetek bengek perasaan yang timbul.
Jika rasanya tidak enak, cukup beri label, “Not Recommended (Tidak
Direkomendasikan)” yang berarti, pembaca tidak dianjurkan untuk memakan makanan
tersebut. Namun, tak selalu begitu. Sewaktu saya menyusun sebuah artikel tentang
Cheesecake, banyak sekali hal-hal trivia
bahkan pendefinisian umum yang berkaitan, yang sepantasnya tertulis. Jika
membahas rasa, seharusnya rasa Cheesecake dimanapun adalah sama karena
(dimanapun) Cheesecake dibuat dengan resep, komposisi dan bahan yang sama.
Namun, rasa Cheesecake di kafe A berbeda dengan kafe B. Ini yang akhirnya
membuat saya meminjam bertumpuk-tumpuk buku teori kuliner dari berbagai hal.
Membuka laman-laman internet dan bertanya kepada ahli kuliner. Seperti memasuki
sekolah baru, saya belajar. Menguliti dan mengelupas berbagai aspek.
Membahas rasa juga rawan
mendikte selera. Suapan pertama yang masuk ke mulut itulah yang akan menjadi
selera anda sepanjang masa. Masakan ibu yang anda konsumsi setiap hari dari
kecil sampai dewasa jadi contoh paling kongkrit soal pendefinisian selera. Pernah
suatu ketika, Sate Kambing yang seharusnya bernilai sepuluh hanya saya beri
lima karena saya bukan penyuka daging kambing. Esok harinya saya makan Sate
Kambing lagi ditemani oleh bapak saya si penggila daging kambing dan saya
dengan lahap menghabiskan satu porsi. Saya bilang Waffle Blueberry ini terlalu
manis, tapi teman saya bilang sudah pas. Teman saya memang suka manis sedangkan
saya tidak. Dan mungkin saja saya sedang tidak ingin bermanis-manis tetapi
teman saya ingin. Tidak ada ukuran yang pas.
Sekiranya, menulis
kuliner sama seperti menulis diary. Tak ada yang baku. Yang baku hanyalah
teori-teori. Yang baku hanyalah bahan-bahan yang digunakan untuk mengolah
makanan. Kuliner bukan tentang rasa makanan enak atau tidak. Bukan itu tujuan
utamanya. Ini tentang seberapa jauh makanan bisa mempengaruhimu. Seberapa
penting makanan jadi bagian dari hidupmu, bukan hanya sekedar kebutuhan makhluk.
Walau pada akhirnya, semua bergantung pada “label rasa” masing-masing yang pas
menurut kebutuhan. Karena menjabarkan tentang sebuah hidangan adalah hal paling
subjektif dan kondisional.
***
BIO :
Anisa Titisari. Lahir di Jakarta, 24 September 1988
dan tersesat di dunia Teknik. Bahkan sekarang sedang terjebak dalam lingkungan
industri. Menjadi pengurus keperluan kata-kata untuk blog kuliner kecil,
KenyangBego. Kalo makan masih enak, itu tandanya masih sehat. Ia bisa dihubungi
di twitter dengan mencolek @ichabego.
No comments:
Post a Comment