Tuesday 8 May 2012

Penulis Tamu Kelima #31harimenulis


Awalnya saya tak menaruh perhatian banyak pada dunia kuliner. Bodohnya saya dulu adalah menganggap menulis kuliner sebagai kesia-siaan yang tidak seru. Namun menjamurnya blog kuliner dan boomingnya kuliner sebagai sebuah tema di media membuat saya baerpikir ulang. Ada semacam bisikan, “Lo harus mempelajari ini”. Maka saya pun mulai mengamini pemikiran tersebut. 

Saya kemudian bertemu dengan Anisa Titisari (tentunya lewat dunia maya). Ia memiliki sebuah blog kuliner (Kenyangbego) yang meruntuhkan segala persepsi saya soal menulis kuliner. Menulis kuliner adalah sebuah seni tersendiri yang melampaui urusan lidah. Belum lama ini misalnya blognya memposting kajian mengenai perjamuan terakhir Yesus. Tulisan yang sangat dalam dan menarik dari sudut pandang hubungan manusia dan makanan. Pada kesempatan ini, Anisa membagi cerita mengenai pengalamannya menulis kuliner. Bagai sebuah pancake, tulisan ini tak hanya menarik dilihat namun mengasyikkan untuk kita kunyah. Seperti tulisan dalam kardus kondangan, saya hanya bisa mengucapkan “Selamat Menikmati” tulisan ini.  (Ardi Wilda)

Kuliner Dalam Paragraf

Semenjak saya meracau disebuah laman beraroma masakan, kemudian saya dengan senang hati menyita waktu di depan komputer untuk merangkai kata. Seperti sekarang, tiba-tiba saja layar monitor saya mengeluarkan asap dan bau Nasi Goreng yang langsung menyebar ke seluruh ruangan. Beberapa detik setelahnya, saya berhenti menulis. Layar monitor saya berubah menjadi hidangan Nasi Goreng Seafood dengan telur mata sapi bulat di atasnya dan taburan bawang goreng renyah. Pernah (lagi) suatu malam jari jemari saya mengetik kata Pancake. Padahal seingat saya saat itu sedang mengerjakan laporan skripsi. Ajaib ya.  Makanan memang sesuatu yang magis. Setidaknya bagi saya.

Saya suka makan. Pun tidak ada yang istimewa. Semua orang sepertinya penyuka makanan juga. Malahan untuk sebagian perempuan (bahkan pria), saya sama bahayanya dengan Junk Food dan kalori. Saat memulai baris pertama paragraf kuliner, yang saya pikirkan adalah penampilan dan aroma dari sebuah masakan. Tak susah, karena ingatan detail tentang makanan sama kuatnya dengan perasaan. Saya mendefinisikan perasaan saya terlebih dahulu saat melihat hidangan sementara hidung saya sudah penuh dengan aroma masakan. Anggap saja saya memesan hidangan Udang Asam Manis. Ia begitu sempurna dengan wajah memerah. Aroma daun bawang yang ditaburkan di atasnya, potongan-potongan nanas meleleh mengeluarkan rasa manis dan udang-udang yang tersaji, basah bermandikan saus asam yang menggoda. Perasaan saya sudah mulai terbang. Satu suapan hinggap di rongga mulut, rasa asam dan manis menyatu sempurna menggelitik lidah dan kerongkongan. Itulah saat dimana saya sudah terbang. Saat dimana saya bisa bilang, mereka terbaik. Sedetik kemudian, otak saya langsung tancap gas mememorikan segala sesuatunya selengkap mungkin. Jari jemari pun tak mau ketinggalan menyusun kalimat apik.

Dunia kuliner adalah soal rasa. Banyak yang berpendapat, menulis tentang makanan yang paling penting adalah rasa. Tak perlu lah memikirkan segala tetek bengek perasaan yang timbul. Jika rasanya tidak enak, cukup beri label, “Not Recommended (Tidak Direkomendasikan)” yang berarti, pembaca tidak dianjurkan untuk memakan makanan tersebut. Namun, tak selalu begitu. Sewaktu saya menyusun sebuah artikel tentang Cheesecake, banyak sekali hal-hal trivia bahkan pendefinisian umum yang berkaitan, yang sepantasnya tertulis. Jika membahas rasa, seharusnya rasa Cheesecake dimanapun adalah sama karena (dimanapun) Cheesecake dibuat dengan resep, komposisi dan bahan yang sama. Namun, rasa Cheesecake di kafe A berbeda dengan kafe B. Ini yang akhirnya membuat saya meminjam bertumpuk-tumpuk buku teori kuliner dari berbagai hal. Membuka laman-laman internet dan bertanya kepada ahli kuliner. Seperti memasuki sekolah baru, saya belajar. Menguliti dan mengelupas berbagai aspek.

Membahas rasa juga rawan mendikte selera. Suapan pertama yang masuk ke mulut itulah yang akan menjadi selera anda sepanjang masa. Masakan ibu yang anda konsumsi setiap hari dari kecil sampai dewasa jadi contoh paling kongkrit soal pendefinisian selera. Pernah suatu ketika, Sate Kambing yang seharusnya bernilai sepuluh hanya saya beri lima karena saya bukan penyuka daging kambing. Esok harinya saya makan Sate Kambing lagi ditemani oleh bapak saya si penggila daging kambing dan saya dengan lahap menghabiskan satu porsi. Saya bilang Waffle Blueberry ini terlalu manis, tapi teman saya bilang sudah pas. Teman saya memang suka manis sedangkan saya tidak. Dan mungkin saja saya sedang tidak ingin bermanis-manis tetapi teman saya ingin. Tidak ada ukuran yang pas.

Sekiranya, menulis kuliner sama seperti menulis diary. Tak ada yang baku. Yang baku hanyalah teori-teori. Yang baku hanyalah bahan-bahan yang digunakan untuk mengolah makanan. Kuliner bukan tentang rasa makanan enak atau tidak. Bukan itu tujuan utamanya. Ini tentang seberapa jauh makanan bisa mempengaruhimu. Seberapa penting makanan jadi bagian dari hidupmu, bukan hanya sekedar kebutuhan makhluk. Walau pada akhirnya, semua bergantung pada “label rasa” masing-masing yang pas menurut kebutuhan. Karena menjabarkan tentang sebuah hidangan adalah hal paling subjektif dan kondisional.

***

BIO :
Anisa Titisari. Lahir di Jakarta, 24 September 1988 dan tersesat di dunia Teknik. Bahkan sekarang sedang terjebak dalam lingkungan industri. Menjadi pengurus keperluan kata-kata untuk blog kuliner kecil, KenyangBego. Kalo makan masih enak, itu tandanya masih sehat. Ia bisa dihubungi di twitter dengan mencolek @ichabego.

No comments:

Post a Comment