Wednesday 23 May 2012

Penulis Tamu Kedua Belas #31harimenulis


Saya selalu ingat apa yang dikatakan oleh kakak saya saat mengajari menulis. Kakak saya yang kini seorang redaktur pelaksana di sebuah harian nasional mengatakan, “Kalau kamu udah bisa buat cerita anak itu berarti kamu udah bisa nulis. Kalau kamu udah bisa buat surat cinta itu artinya kamu udah boleh ngajarin nulis,” ujarnya sedikit sombong. Sejak saat itu saya merasa tingkat tertinggi seorang penulis justru saat ia bisa menulis untuk orang terdekatnya melalui sebuah surat cinta.
Wening, seorang penulis di majalah musik nasional, ternyata memiliki pengalaman panjang perihal tulis menulis surat cinta. Ia terbiasa menulis surat cinta untuk kekasihnya, sebuah hal yang sulit kita temui saat ini. Kepada 31 Hari Menulis ia berbagi pengalamannya dalam menulis surat cinta. Seperti kata kakak saya ternyata perihal menulis surat cinta bukan urusan remeh temeh belaka. Wening mengajari kita bagaimana mencintai lewat sepucuk surat.  (Ardi Wilda)


Surat Cinta
Oleh: Wening G.
Saya malu-malu mau saat diminta menulis untuk tema surat cinta di 31 Hari Menulis ini. Malu karena akan ketahuan saya orang yang hopeless romantic, suka hal atau perlakuan remeh soal cinta tapi yang bikin hati lumer. Salah satunya ya soal surat cinta ini. Mau karena saya ikut mendorong kegiatan menulis surat cinta digalakkan (kembali).

Dorongan terbesar untuk menulis surat cinta bagi saya selama ini adalah supaya si doi tahu perasaan saya, dan agar semua itu tidak lewat saja, agar saya tidak lupa. Plus saya juga punya kebiasaan menulis, termasuk menulis surat yang saya lakukan sejak sekolah dasar.

Ya, ada SMS dan telepon dan chat yang punya daya tariknya sendiri, tapi ada hal-hal yang rasanya lebih pas dituangkan lewat surat. Ruangnya lebih lapang dan ada perasaan tidak diburu-buru, jadi saya bisa berpanjang-panjang soal, misalnya, kenapa saya masih saja naksir dia setelah lewat satu tahun, atau bagaimana rasanya menghabiskan hari-hari tanpa ada dia. 

Saya merasa bahwa saya adalah orang yang lebih bisa ‘bicara’ lewat tulisan. Entah kenapa seringnya kata-kata selalu terbang begitu saja saat saya harus bicara dan berhadapan langsung dengan lawan bicara. Dengan menulis, saya merasa lebih tenang dan punya waktu untuk merangkai apa yang ingin saya katakan. Saya juga merasa lebih bisa jujur dan apa adanya, tidak kelu duluan karena ditodong harus menanggapi lawan bicara. Kadang saya tulis dulu poin-poin yang ingin dibahas di kertas kecil, untuk kemudian dikembangkan di surat. Alurnya saya rasa kurang lebih sama dengan sebuah tulisan. Supaya jelas dan runut, ada pembuka (misalnya: “Hai, Tampan”), disambung dengan isi atau pemaparan ‘fakta’ (“Menurutku, kamu tampan sekali”), dan lalu penutup (“Oke deh, segitu dulu ya, Tampan.”).

Suatu kebetulan, saya orang yang senang dengan hal-hal kuno atau yang sudah jarang dilakukan. Untuk hari-hari ini, salah satunya adalah mengirim atau mendapatkan surat. Ya, surat alias amplop yang pakai perangko itu. Maka dulu beberapa kali saya sengaja menghindari loket kilat khusus di kantor pos, demi bisa mengirimkan surat berperangko pada pacar.

Poin terbesar soal (mendapatkan) surat cinta adalah, bagi saya, betapa tersentuhnya kita saat tahu pacar/calon pacar sudah meluangkan waktu dan pikirannya untuk sepucuk surat, untuk kita. Bentuknya boleh saja satu lembar, tapi dampaknya saya rasa bisa menghangatkan hati berhari-hari lamanya. Di atas kertas atau di folder surat elektronik, semuanya terekam. Mereka tetap ada sampai besok-besok walau mungkin akan ada yang berubah. Di surat cinta, ada bukti bahwa kita pernah mencintai, bahwa seseorang bisa begitu berpengaruh. Dan bagi saya, itu adalah salah satu hal terbesar semasa kita hidup.


No comments:

Post a Comment