Saya selalu ingat apa yang dikatakan oleh kakak saya
saat mengajari menulis. Kakak saya yang kini seorang redaktur pelaksana di
sebuah harian nasional mengatakan, “Kalau kamu udah bisa buat cerita anak itu
berarti kamu udah bisa nulis. Kalau kamu udah bisa buat surat cinta itu artinya kamu udah boleh
ngajarin nulis,” ujarnya sedikit sombong. Sejak saat itu saya merasa tingkat
tertinggi seorang penulis justru saat ia bisa menulis untuk orang terdekatnya
melalui sebuah surat
cinta.
Wening, seorang penulis di majalah musik nasional,
ternyata memiliki pengalaman panjang perihal tulis menulis surat cinta. Ia terbiasa menulis surat cinta untuk
kekasihnya, sebuah hal yang sulit kita temui saat ini. Kepada 31 Hari Menulis
ia berbagi pengalamannya dalam menulis surat
cinta. Seperti kata kakak saya ternyata perihal menulis surat cinta bukan urusan remeh temeh belaka.
Wening mengajari kita bagaimana mencintai lewat sepucuk surat . (Ardi Wilda)
Oleh: Wening G.
Saya malu-malu mau saat diminta menulis untuk tema surat cinta di 31 Hari
Menulis ini. Malu karena akan ketahuan saya orang yang hopeless romantic,
suka hal atau perlakuan remeh soal cinta tapi yang bikin hati lumer. Salah
satunya ya soal surat cinta ini. Mau karena saya ikut mendorong kegiatan
menulis surat cinta digalakkan (kembali).
Dorongan terbesar untuk menulis surat cinta bagi saya
selama ini adalah supaya si doi tahu perasaan saya, dan agar semua itu tidak
lewat saja, agar saya tidak lupa. Plus saya juga punya kebiasaan menulis,
termasuk menulis surat yang saya lakukan sejak sekolah dasar.
Ya, ada SMS dan telepon dan chat yang punya daya tariknya sendiri, tapi ada hal-hal yang
rasanya lebih pas dituangkan lewat surat. Ruangnya lebih lapang dan ada
perasaan tidak diburu-buru, jadi saya bisa berpanjang-panjang soal, misalnya,
kenapa saya masih saja naksir dia setelah lewat satu tahun, atau bagaimana
rasanya menghabiskan hari-hari tanpa ada dia.
Saya merasa bahwa saya adalah orang yang lebih bisa
‘bicara’ lewat tulisan. Entah kenapa seringnya kata-kata selalu terbang begitu
saja saat saya harus bicara dan berhadapan langsung dengan lawan bicara. Dengan
menulis, saya merasa lebih tenang dan punya waktu untuk merangkai apa yang
ingin saya katakan. Saya juga merasa lebih bisa jujur dan apa adanya, tidak
kelu duluan karena ditodong harus menanggapi lawan bicara. Kadang saya tulis
dulu poin-poin yang ingin dibahas di kertas kecil, untuk kemudian dikembangkan
di surat. Alurnya saya rasa kurang lebih sama dengan sebuah tulisan. Supaya
jelas dan runut, ada pembuka (misalnya: “Hai, Tampan”), disambung dengan isi
atau pemaparan ‘fakta’ (“Menurutku, kamu tampan sekali”), dan lalu penutup
(“Oke deh, segitu dulu ya, Tampan.”).
Suatu kebetulan, saya orang yang senang dengan hal-hal
kuno atau yang sudah jarang dilakukan. Untuk hari-hari ini, salah satunya
adalah mengirim atau mendapatkan surat. Ya, surat alias amplop yang pakai
perangko itu. Maka dulu beberapa kali saya sengaja menghindari loket kilat
khusus di kantor pos, demi bisa mengirimkan surat berperangko pada pacar.
Poin terbesar soal (mendapatkan) surat cinta adalah,
bagi saya, betapa tersentuhnya kita saat tahu pacar/calon pacar sudah
meluangkan waktu dan pikirannya untuk sepucuk surat, untuk kita. Bentuknya
boleh saja satu lembar, tapi dampaknya saya rasa bisa menghangatkan hati
berhari-hari lamanya. Di atas kertas atau di folder surat elektronik, semuanya
terekam. Mereka tetap ada sampai besok-besok walau mungkin akan ada yang
berubah. Di surat cinta, ada bukti bahwa kita pernah mencintai, bahwa seseorang
bisa begitu berpengaruh. Dan bagi saya, itu adalah salah satu hal terbesar
semasa kita hidup.
No comments:
Post a Comment