Friday, 4 May 2012

Penulis tamu Kedua #31harimenulis


Saya lupa kapan tepatnya mengenal Dito Yuwono. Namun perjumpaan dengan dirinya memberi kesan berarti pada saya. Mengutip kata ibu saya, dia orang yang “ora isoh meneng” alias tidak bisa diam. Jangan lantas berpikir dia lari kesana-sini seperti Karl Malone mencari bola basket. Yang dimaksud di sini adalah dia selalu ingin berkarya. Dan majalah adalah karya yang kerap ia buat.
Dito beberapa kali terlibat dalam pembuatan majalah mandiri, baik bersama rekan-rekannya maupun personal. Bagi saya tulisan ini menarik untuk jadi bacaan rekan-rekan komunikasi. Selama ini kita selalu berpandangan menjadi bagian kecil dari sebuah media. “Eh aku pingin deh jadi wartawan majalah bla bla bla” atau “Eh asyik kayanya kerja di TV bla bla bla”. Celetukan macam itu menjadi bukti cara pandang kita tak pernah berani membuat media sendiri. Di kesempatan kali ini Dito berbagi pengalaman sekaligus mengajak kita merubah pemikiran mengenai media khususnya majalah. Sila disimak. (Ardi Wilda)

Entah Kenapa Saya Membuat Majalah
oleh : Dito Yuwono
Mengkonsumsi majalah mungkin adalah hal yang sudah umum dilakukan siapapun. Saya, sebagai orang umum pun sudah mengkonsumsi benda bernama majalah mungkin sejak sekolah dasar. Baik itu majalah yang memang ditujukan untuk anak pada umur tersebut ataupun majalah yang dimiliki oleh ibu saya. Saat itu, saya masih melihat majalah ya seperti benda berbentuk menyerupai buku saja. Tidak ada yang istimewa.
Saya mulai melihat majalah sebagai sesuatu yang cukup istimewa ketika SMP. Saat itu saya mengkonsumsi majalah Hai, yang menurut saya memberi banyak informasi yang saya butuhkan. Pada suatu ketika, saya bersama teman se-band saya, Putro mengobrak-abrik majalah-majalah tersebut dan kemudian menemukan berbagai profil band yang menarik perhatian kami saat itu. Rasanya seperti menemukan harta karun, yang kemudian bisa kami kliping ataupun ditempel di dinding kamar.
Perkenalan saya dengan benda bernama majalah mulai semakin dekat seiring saya bertambah umur. Apalagi saya sempat mengalami masa dimana terjadinya booming majalah alternatif pada masa SMA. Saya pikir itu momen yang kemudian membuat saya melihat majalah sebagai sesuatu yang berbeda, yang di kemudian hari memicu saya untuk membuat majalah versi saya.
Hingga saat ini, saya telah membuat / terlibat dalam pembuatan sedikitnya tiga buah majalah. Saya sengaja tidak mau menggunakan istilah “zine” atau istilah rumit lainnya karena untuk saya terjebak dalam penggunaan istilah akan memberi tekanan tertentu. Untuk saya, lebih penting untuk berfokus pada melakukan apa yang ingin saya lakukan ketimbang mengikatkan diri pada istilah-istilah tertentu.
DAB Magazine adalah majalah pertama dimana saya terlibat dalam pembuatannya. Saya melihat proses pembuatan majalah yang terbit pada tahun 2008 ini cukup menarik,. Secara ideologis, majalah ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Majalah ini secara khusus memberi bobot yang lebih pada topik-topik seputar musik sidestream lokal Jogja.
Majalah yang berjalan lebih dari dua tahun ini menjadi titik awal saya memahami dan terlibat langsung pada pengelolaan majalah lokal. Mulai dari proses kerja sebuah majalah, mulai dari menentukan editorial hingga sulitnya mencari dana untuk membiayai proses cetak. Dana ini sepenuhnya hanya digunakan untuk proses cetak, bukan untuk membiayai setiap pekerja yang ada di dalam majalah ini. Proses kerja ini menarik buat saya karena hanya berangkat dari kepercayaan dan kecintaan segelintir orang ini, DAB Magazine cukup lama.
Di tengah-tengah mengerjakan DAB Magazine, saya bersama tiga teman saya membuat majalah fotografi sederhana (12 halaman) bernama 24. Majalah ini hanya dicetak sesuai dengan kemampuan finansial kami tiap edisinya. Meskipun sangat singkat, tapi prosesnya sangat menyenangkan. Berangkat dari 24, saya bersama dua orang lainnya, Mira dan Bentar membuat Huffmagazine.com. Majalah online yang kami cetak (lagi-lagi) sesuai kemampuan finansial kami.
Untuk saya membuat majalah ini menjadi hal yang sangat menyenangkan karena saya belum menemukan majalah dalam negeri yang cukup menarik. Daripada terus berharap pada majalah dalam negeri yang seolah gitu-gitu aja, maka saya harus bisa membuat majalah sendiri sesuai apa yang saya inginkan. Tidak perlu berharap bahwa majalah ini akan disukai banyak orang. Hal terpenting untuk saya saat membuat majalah adalah bagaimana saya dapat memuaskan diri saya dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Pada dasarnya tidak ada pakem yang pasti untuk membuat majalah versi sendiri. Memulai membuat majalah sendiri tidak berbeda dengan memulai aktifitas apapun, yaitu niat. Mengingat aktifitas membuat majalah sendiri adalah aktifitas yang menyenangkan maka jangan pernah menghilangkan unsur tersebut. Sekali lagi, tidak perlu dipikirkan apakah majalah yang kita bikin akan disukai atau dibaca oleh orang lain, yang terpenting adalah membuat sesuatu yang yang kita inginkan. Meski mengerjakannya dengan bersenang-senang tapi perlakukan majalah tersebut dengan serius. Setidaknya dengan begitu apa yang kita lakukan bisa maksimal.
Di era yang serba mudah ini, siapapun dapat melakukan apapun untuk memuaskan dirinya, termasuk membuat majalah sendiri. Berbagai tawaran mulai dari foto kopi berkualitas, print warna yang murah, hingga memanfaatkan akses internet bisa menjadi pilihan untuk menciptakan majalah. Permasalahannya adalah apakah kita mau dan memiliki energi untuk menciptakannya. Oiya, dan untuk saya memulai membuat tanpa takut salah adalah langkah awal terbaik yang bisa dilakukan. Takut salah akan menghambat untuk memulai, dan pada akhirnya ya batal membuat majalah sendiri. Toh pada akhirnya kesalahan itu selalu bisa diperbaiki.
Mungkin memang untuk sebagian orang membuat majalah sendiri itu terlihat tidak berguna, buang-buang energi maupun uang. Berdasarkan apa yang saya alami, membuat majalah itu sesuatu yang menyenangkan dan memperkaya pandangan saya. Saya melihatnya sebagai sesuatu yang saya butuhkan ketimbang prediksi tentang berguna atau tidak berguna. Meminjam istilah teman saya,  membuat karya itu seperti buang air besar. Hasil akhirnya bisa jadi tidak berguna tapi jika itu tidak dikeluarkan ya kamu bisa sakit.


1 comment:

  1. keren nih tulisannya. Saya sangat mengagumi DAB krn alasan personal dan profesional. Semoga tulisan ini menginspirasi kita semua untuk memproduksi konten media/komunikasi :)

    ReplyDelete