Saya
lupa kapan tepatnya mengenal Dito Yuwono. Namun perjumpaan dengan dirinya
memberi kesan berarti pada saya. Mengutip kata ibu saya, dia orang yang “ora
isoh meneng” alias tidak bisa diam. Jangan lantas berpikir dia lari kesana-sini
seperti Karl Malone mencari bola basket. Yang dimaksud di sini adalah dia
selalu ingin berkarya. Dan majalah adalah karya yang kerap ia buat.
Dito
beberapa kali terlibat dalam pembuatan majalah mandiri, baik bersama
rekan-rekannya maupun personal. Bagi saya tulisan ini menarik untuk jadi bacaan
rekan-rekan komunikasi. Selama ini kita selalu berpandangan menjadi bagian
kecil dari sebuah media. “Eh aku pingin deh jadi wartawan majalah bla bla bla”
atau “Eh asyik kayanya kerja di TV bla bla bla”. Celetukan macam itu menjadi bukti
cara pandang kita tak pernah berani membuat media sendiri. Di kesempatan kali
ini Dito berbagi pengalaman sekaligus mengajak kita merubah pemikiran mengenai
media khususnya majalah. Sila disimak. (Ardi Wilda)
Entah Kenapa Saya Membuat Majalah
oleh : Dito Yuwono
oleh : Dito Yuwono
Mengkonsumsi majalah
mungkin adalah hal yang sudah umum dilakukan siapapun. Saya, sebagai orang umum
pun sudah mengkonsumsi benda bernama majalah mungkin sejak sekolah dasar. Baik
itu majalah yang memang ditujukan untuk anak pada umur tersebut ataupun majalah
yang dimiliki oleh ibu saya. Saat itu, saya masih melihat majalah ya seperti
benda berbentuk menyerupai buku saja. Tidak ada yang istimewa.
Saya mulai melihat
majalah sebagai sesuatu yang cukup istimewa ketika SMP. Saat itu saya
mengkonsumsi majalah Hai, yang menurut
saya memberi banyak informasi yang saya butuhkan. Pada suatu ketika, saya
bersama teman se-band saya, Putro mengobrak-abrik majalah-majalah tersebut dan
kemudian menemukan berbagai profil band yang menarik perhatian kami saat itu.
Rasanya seperti menemukan harta karun, yang kemudian bisa kami kliping ataupun
ditempel di dinding kamar.
Perkenalan saya
dengan benda bernama majalah mulai semakin dekat seiring saya bertambah umur.
Apalagi saya sempat mengalami masa dimana terjadinya booming majalah alternatif pada masa SMA. Saya pikir itu momen yang
kemudian membuat saya melihat majalah sebagai sesuatu yang berbeda, yang di
kemudian hari memicu saya untuk membuat majalah versi saya.
Hingga saat ini,
saya telah membuat / terlibat dalam pembuatan sedikitnya tiga buah majalah.
Saya sengaja tidak mau menggunakan istilah “zine” atau istilah rumit lainnya
karena untuk saya terjebak dalam penggunaan istilah akan memberi tekanan
tertentu. Untuk saya, lebih penting untuk berfokus pada melakukan apa yang
ingin saya lakukan ketimbang mengikatkan diri pada istilah-istilah tertentu.
DAB Magazine adalah
majalah pertama dimana saya terlibat dalam pembuatannya. Saya melihat proses
pembuatan majalah yang terbit pada tahun 2008 ini cukup menarik,. Secara
ideologis, majalah ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Majalah ini secara
khusus memberi bobot yang lebih pada topik-topik seputar musik sidestream lokal Jogja.
Majalah yang
berjalan lebih dari dua tahun ini menjadi titik awal saya memahami dan terlibat
langsung pada pengelolaan majalah lokal. Mulai dari proses kerja sebuah
majalah, mulai dari menentukan editorial hingga sulitnya mencari dana untuk
membiayai proses cetak. Dana ini sepenuhnya hanya digunakan untuk proses cetak,
bukan untuk membiayai setiap pekerja yang ada di dalam majalah ini. Proses
kerja ini menarik buat saya karena hanya berangkat dari kepercayaan dan
kecintaan segelintir orang ini, DAB Magazine cukup lama.
Di tengah-tengah
mengerjakan DAB Magazine, saya bersama tiga teman saya membuat majalah
fotografi sederhana (12 halaman) bernama 24. Majalah ini hanya dicetak sesuai
dengan kemampuan finansial kami tiap edisinya. Meskipun sangat singkat, tapi
prosesnya sangat menyenangkan. Berangkat dari 24, saya bersama dua orang
lainnya, Mira dan Bentar membuat Huffmagazine.com. Majalah online yang kami
cetak (lagi-lagi) sesuai kemampuan finansial kami.
Untuk saya membuat
majalah ini menjadi hal yang sangat menyenangkan karena saya belum menemukan
majalah dalam negeri yang cukup menarik. Daripada terus berharap pada majalah
dalam negeri yang seolah gitu-gitu aja,
maka saya harus bisa membuat majalah sendiri sesuai apa yang saya inginkan.
Tidak perlu berharap bahwa majalah ini akan disukai banyak orang. Hal
terpenting untuk saya saat membuat majalah adalah bagaimana saya dapat
memuaskan diri saya dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Pada dasarnya tidak
ada pakem yang pasti untuk membuat majalah versi sendiri. Memulai membuat
majalah sendiri tidak berbeda dengan memulai aktifitas apapun, yaitu niat.
Mengingat aktifitas membuat majalah sendiri adalah aktifitas yang menyenangkan
maka jangan pernah menghilangkan unsur tersebut. Sekali lagi, tidak perlu
dipikirkan apakah majalah yang kita bikin akan disukai atau dibaca oleh orang
lain, yang terpenting adalah membuat sesuatu yang yang kita inginkan. Meski
mengerjakannya dengan bersenang-senang tapi perlakukan majalah tersebut dengan
serius. Setidaknya dengan begitu apa yang kita lakukan bisa maksimal.
Di era yang serba
mudah ini, siapapun dapat melakukan apapun untuk memuaskan dirinya, termasuk
membuat majalah sendiri. Berbagai tawaran mulai dari foto kopi berkualitas,
print warna yang murah, hingga memanfaatkan akses internet bisa menjadi pilihan
untuk menciptakan majalah. Permasalahannya adalah apakah kita mau dan memiliki
energi untuk menciptakannya. Oiya, dan untuk saya memulai membuat tanpa takut
salah adalah langkah awal terbaik yang bisa dilakukan. Takut salah akan
menghambat untuk memulai, dan pada akhirnya ya batal membuat majalah sendiri.
Toh pada akhirnya kesalahan itu selalu bisa diperbaiki.
Mungkin memang untuk
sebagian orang membuat majalah sendiri itu terlihat tidak berguna, buang-buang
energi maupun uang. Berdasarkan apa yang saya alami, membuat majalah itu
sesuatu yang menyenangkan dan memperkaya pandangan saya. Saya melihatnya
sebagai sesuatu yang saya butuhkan ketimbang prediksi tentang berguna atau
tidak berguna. Meminjam istilah teman saya,
membuat karya itu seperti buang air besar. Hasil akhirnya bisa jadi
tidak berguna tapi jika itu tidak dikeluarkan ya kamu bisa sakit.
keren nih tulisannya. Saya sangat mengagumi DAB krn alasan personal dan profesional. Semoga tulisan ini menginspirasi kita semua untuk memproduksi konten media/komunikasi :)
ReplyDelete