Apa yang
dicari dari sebuah perjalanan? Mungkin Marcopolo, Che, sampai
Agustinus Wibowo belum tentu bisa menjawabnya. Namun kita selalu
berusaha menjawab itu, melakukan perjalanan, berkontemplasi dan tak
lupa membagi cerita perjalanan kita. Menulis cerita perjalanan
kemudian menjadi sebuah cara berbagi cerita mengenai apa yang kita
rasakan ketika bepergian.
Nuran
Wibisono, seorang mantan binaragawan yang gemar menulis perjalanan
mencoba berbagi mengenai menulis kisah perjalanan. Kontributor
Jakartabeat.net yang juga mahasiswa Pasca Sarjana ini senang
melakukan perjalanan dan menuliskannya dalam ebook yang ciamik.
Seperti sebuah perjalanan, pengantar dari saya hanyalah tiket menuju
tujuan sebenarnya yakni tulisan kisah perjalanan ala Nuran Wibisono.
Jadi mari kita nikmati tulisan Mas Nuran, jangan lupa siapkan
perbekalan untuk perjalanan kita nantinya. (Ardi wilda)
Tentang
Menulis Kisah Perjalanan
Oleh:
Nuran Wibisono
Beberapa
hari lalu saya ditodong oleh kak Awe Sangar untuk menceritakan
mengenai asyiknya nulis kisah traveling. Saya sebenarnya sungkan,
karena pengalaman nulis traveling saya tidak banyak. Tapi karena saya
dan banyak orang seumuran saya menganggap kak Awe adalah dewa, maka
saya tak bisa menolak ajakan pria single
yang mirip Rico gitaris Mocca itu.Daripada dosa.
Saya
mulai menulis catatan perjalanan ketika duduk di kelas 2 SMA. Waktu
itu saya dan kawan-kawan pecinta alam baru saja pulang dari naik
gunung. Ketika foto-foto ditempel di mading, saya baru sadar kalau
foto kadang tidak berbicara banyak. Adagium a
picture can tell thousand words
itu ternyata propaganda pemilik pabrik kamera belaka.
Akhirnya
saya menulis kisah perjalanan naik gunung itu, melengkapi foto yang
sudah dipajang sebelumnya. Ketika ditempel di mading, ternyata banyak
sekali yang membaca. Banyak yang terbahak. Banyak sekali anak-anak
baru yang ingin masuk pecinta alam karena membaca tulisan saya.
Padahal jujur, tulisan itu sampah sekali. Sama sekali tidak
menceritakan proses naik gunungnya atau segala macam teknik untuk
naik gunung dengan aman dan nyaman. Malah bercerita mengenai hal-hal
bodoh: setan di balik pohon pisang, buang air besar di sungai tengah
malam, beras yang tidak tanak, hingga menggoda kembang desa. Tapi
rasa bangga karena tulisan dibaca dan disukai itu begitu membekas.
Sejak saat itu saya jadi merasa ketagihan untuk menulis kisah
perjalanan.
Dalam
hemat saya, ada dua tipikal penulis perjalanan: amatir dan
profesional. Tentu ini tidak merujuk pada kualitas tulisan.
Amatir
disini mengacu pada penulis traveling pro
bono,
orang yang tidak mendapat pemasukan dari menulis. Biasanya penulis
traveling macam ini akan menulis untuk blog pribadi, atau membuat
e-book untuk lalu disebar di dunia maya.
Saya
melakukan itu bersama beberapa orang kawan. Tahun 2009 saya dan Ayos
Purwoaji merilis e-book berjudul Alone
Long Way From Home,
tentang perjalanan kami menyusuri Jawa hingga Flores dan Pulau
Komodo. Karena tidak terikat oleh apapun, kami bebas menulis tentang
segala hal yang jarang dimuat di media. Mulai dari kisah pasar baju
bekas terbesar se Bali, pantai di Lombok yang tanahnya sudah dibeli
oleh investor asing, adanya resor kelas dunia di Pulau Moyo yang
dikelola oleh perusahaan berbasis di Singapura, pengalaman menumpang
truk dari Bima hingga Flores, sampai kisah suku Komodo yang terasing
di tanahnya sendiri.
E-book
itu mendapat sambutan yang cukup meriah, membuat saya dan Ayos
mendapat banyak teman baru yang mengapresiasi karya itu. Setelah itu
kami merilis beberapa e-book lagi, seperti e-book tentang kampung
batik Laweyan dan e-book tentang perjalanan di kepulauan Madura.
Sedang
penulis perjalanan profesional adalah orang yang mendapat pendapatan
dari menulis perjalanan. Biasanya mereka mengirim tulisan mereka
rutin ke majalah wisata. Beberapa malah ada yang membuat buku. Tahu
Trinity, Agustinus Wibowo, Yudasmoro, Matatita, atau Ahmad Yunus?
Mereka adalah penulis perjalanan profesional. Mereka menjadikan
menulis sebagai (salah satu) sumber pendapatan.
Mas Yudasmoro bahkan rela keluar dari tempatnya bekerja dan memilih
untuk serius menjadi penulis perjalanan.
Ada
beberapa keasyikan tersendiri ketika menulis catatan perjalanan, baik
dari sudut pandang amatir maupun profesional.
Bagi
para penulis perjalanan amatir, ketika tulisan dalam blog maupun
ebook dibaca dan diapresiasi, itu yang membuat bangga. Saya
mendapatkan banyak teman baru yang terkesan dengan tulisan dan e-book
travelogue
saya. Ada yang dari Jogja, Surabaya, Makassar, bahkan Riau. Beberapa
dari mereka telah rendezvous
dengan saya dan ngobrol banyak hal tentang penulisan perjalanan.
Seorang kawan dari Riau bahkan pernah traveling bareng saya, ke Ijen
dan Merapi.
Bagi
para penulis profesional, selain rasa bangga karena tulisan nampang
di media yang jangkauannya lebih luas ketimbang blog atau e-book,
tentu senangnya jadi bertambah karena ada kompensasi karena tulisan
dimuat. Kompensasi ini bisa berupa banyak hal. Mulai dari voucher
hotel, voucher makan di restoran, dan yang paling sering tentu saja
uang. Jumlahnya pun lumayan. Besar kecilnya honor tergantung tiap
media.
Awalnya
saya hanya bergerak di bidang penulisan perjalanan secara amatir.
Tapi beberapa waktu lalu, saya berkesempatan pergi ke Hamburg selama
1 bulan. Saya menjelajah sudut-sudut kota yang terkenal dengan
suporter bola FC St. Pauli itu. Mulai dari pelabuhan, museum The
Beatles, pasar loak, basis suporter bola anti rasis, hingga daerah
red
district
yang terbesar di Eropa. Hasilnya saya kirim ke sebuah majalah.
Diterima. Dan dapat honor. Itu honor terbesar yang pernah saya terima
sebagai penulis.
Yang
patut diingat, menulis perjalanan adalah juga menulis tentang
manusia. Kalian boleh terlena dengan laut yang biru, pasir yang
putih, angin yang sepoi. Tapi jangan lupa untuk jadi penulis yang
peka terhadap sekitar. Carilah sudut pandang tulisan yang menarik,
yang bisa membuat tulisan menjadi hidup.
Jadi,
selamat menulis kisah perjalanan kalian!
No comments:
Post a Comment