Saturday, 12 May 2012

Penulis Tamu Ketujuh #31harimenulis



Apa yang dicari dari sebuah perjalanan? Mungkin Marcopolo, Che, sampai Agustinus Wibowo belum tentu bisa menjawabnya. Namun kita selalu berusaha menjawab itu, melakukan perjalanan, berkontemplasi dan tak lupa membagi cerita perjalanan kita. Menulis cerita perjalanan kemudian menjadi sebuah cara berbagi cerita mengenai apa yang kita rasakan ketika bepergian.
Nuran Wibisono, seorang mantan binaragawan yang gemar menulis perjalanan mencoba berbagi mengenai menulis kisah perjalanan. Kontributor Jakartabeat.net yang juga mahasiswa Pasca Sarjana ini senang melakukan perjalanan dan menuliskannya dalam ebook yang ciamik. Seperti sebuah perjalanan, pengantar dari saya hanyalah tiket menuju tujuan sebenarnya yakni tulisan kisah perjalanan ala Nuran Wibisono. Jadi mari kita nikmati tulisan Mas Nuran, jangan lupa siapkan perbekalan untuk perjalanan kita nantinya. (Ardi wilda)

Tentang Menulis Kisah Perjalanan
Oleh: Nuran Wibisono

Beberapa hari lalu saya ditodong oleh kak Awe Sangar untuk menceritakan mengenai asyiknya nulis kisah traveling. Saya sebenarnya sungkan, karena pengalaman nulis traveling saya tidak banyak. Tapi karena saya dan banyak orang seumuran saya menganggap kak Awe adalah dewa, maka saya tak bisa menolak ajakan pria single yang mirip Rico gitaris Mocca itu.Daripada dosa.

Saya mulai menulis catatan perjalanan ketika duduk di kelas 2 SMA. Waktu itu saya dan kawan-kawan pecinta alam baru saja pulang dari naik gunung. Ketika foto-foto ditempel di mading, saya baru sadar kalau foto kadang tidak berbicara banyak. Adagium a picture can tell thousand words itu ternyata propaganda pemilik pabrik kamera belaka.

Akhirnya saya menulis kisah perjalanan naik gunung itu, melengkapi foto yang sudah dipajang sebelumnya. Ketika ditempel di mading, ternyata banyak sekali yang membaca. Banyak yang terbahak. Banyak sekali anak-anak baru yang ingin masuk pecinta alam karena membaca tulisan saya. Padahal jujur, tulisan itu sampah sekali. Sama sekali tidak menceritakan proses naik gunungnya atau segala macam teknik untuk naik gunung dengan aman dan nyaman. Malah bercerita mengenai hal-hal bodoh: setan di balik pohon pisang, buang air besar di sungai tengah malam, beras yang tidak tanak, hingga menggoda kembang desa. Tapi rasa bangga karena tulisan dibaca dan disukai itu begitu membekas. Sejak saat itu saya jadi merasa ketagihan untuk menulis kisah perjalanan.

Dalam hemat saya, ada dua tipikal penulis perjalanan: amatir dan profesional. Tentu ini tidak merujuk pada kualitas tulisan.

Amatir disini mengacu pada penulis traveling pro bono, orang yang tidak mendapat pemasukan dari menulis. Biasanya penulis traveling macam ini akan menulis untuk blog pribadi, atau membuat e-book untuk lalu disebar di dunia maya.

Saya melakukan itu bersama beberapa orang kawan. Tahun 2009 saya dan Ayos Purwoaji merilis e-book berjudul Alone Long Way From Home, tentang perjalanan kami menyusuri Jawa hingga Flores dan Pulau Komodo. Karena tidak terikat oleh apapun, kami bebas menulis tentang segala hal yang jarang dimuat di media. Mulai dari kisah pasar baju bekas terbesar se Bali, pantai di Lombok yang tanahnya sudah dibeli oleh investor asing, adanya resor kelas dunia di Pulau Moyo yang dikelola oleh perusahaan berbasis di Singapura, pengalaman menumpang truk dari Bima hingga Flores, sampai kisah suku Komodo yang terasing di tanahnya sendiri.

E-book itu mendapat sambutan yang cukup meriah, membuat saya dan Ayos mendapat banyak teman baru yang mengapresiasi karya itu. Setelah itu kami merilis beberapa e-book lagi, seperti e-book tentang kampung batik Laweyan dan e-book tentang perjalanan di kepulauan Madura.

Sedang penulis perjalanan profesional adalah orang yang mendapat pendapatan dari menulis perjalanan. Biasanya mereka mengirim tulisan mereka rutin ke majalah wisata. Beberapa malah ada yang membuat buku. Tahu Trinity, Agustinus Wibowo, Yudasmoro, Matatita, atau Ahmad Yunus? Mereka adalah penulis perjalanan profesional. Mereka menjadikan menulis sebagai (salah satu) sumber pendapatan. Mas Yudasmoro bahkan rela keluar dari tempatnya bekerja dan memilih untuk serius menjadi penulis perjalanan.

Ada beberapa keasyikan tersendiri ketika menulis catatan perjalanan, baik dari sudut pandang amatir maupun profesional.

Bagi para penulis perjalanan amatir, ketika tulisan dalam blog maupun ebook dibaca dan diapresiasi, itu yang membuat bangga. Saya mendapatkan banyak teman baru yang terkesan dengan tulisan dan e-book travelogue saya. Ada yang dari Jogja, Surabaya, Makassar, bahkan Riau. Beberapa dari mereka telah rendezvous dengan saya dan ngobrol banyak hal tentang penulisan perjalanan. Seorang kawan dari Riau bahkan pernah traveling bareng saya, ke Ijen dan Merapi.

Bagi para penulis profesional, selain rasa bangga karena tulisan nampang di media yang jangkauannya lebih luas ketimbang blog atau e-book, tentu senangnya jadi bertambah karena ada kompensasi karena tulisan dimuat. Kompensasi ini bisa berupa banyak hal. Mulai dari voucher hotel, voucher makan di restoran, dan yang paling sering tentu saja uang. Jumlahnya pun lumayan. Besar kecilnya honor tergantung tiap media.

Awalnya saya hanya bergerak di bidang penulisan perjalanan secara amatir. Tapi beberapa waktu lalu, saya berkesempatan pergi ke Hamburg selama 1 bulan. Saya menjelajah sudut-sudut kota yang terkenal dengan suporter bola FC St. Pauli itu. Mulai dari pelabuhan, museum The Beatles, pasar loak, basis suporter bola anti rasis, hingga daerah red district yang terbesar di Eropa. Hasilnya saya kirim ke sebuah majalah. Diterima. Dan dapat honor. Itu honor terbesar yang pernah saya terima sebagai penulis.

Yang patut diingat, menulis perjalanan adalah juga menulis tentang manusia. Kalian boleh terlena dengan laut yang biru, pasir yang putih, angin yang sepoi. Tapi jangan lupa untuk jadi penulis yang peka terhadap sekitar. Carilah sudut pandang tulisan yang menarik, yang bisa membuat tulisan menjadi hidup.

Jadi, selamat menulis kisah perjalanan kalian! 

No comments:

Post a Comment