Monday, 21 May 2012

Penulis Tamu Kesebelas #31harimenulis


Pendapat klasik soal menulis mengatakan penulis yang baik pasti pembaca yang baik. Tak bisa dipungkiri membaca adalah sebuah hal yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan menulis. Dalam konteks yang lebih religious bahkan ayat pertama yang diturunkan Tuhan menyuruh kita membaca. Tentu saja kemudian buku adalah senjata bagi para intelektual sebelum mereka memegang pena.
Yus Ariyanto, seorang pembaca yang juga penulis (salah satunya untuk Jakartabeat.net) berbagi lima buku yang “wajib” dibaca oleh mahasiswa. Kenapa mahasiswa? Sebab program ini mayoritas diikuti oleh mereka yang masih menyandung status mahasiswa. Juga seperti kata Gie, mahasiswa adalah soal Buku, Pesta dan Cinta. Artinya sebelum anda pergi ke gig atau nyepik gebetan ada baiknya sadarilah tugas mahasiswa untuk membaca. Berikut ini lima buku yang wajib dibaca saat anda duduk di bangku kuliah. (Ardi Wilda)

Menuju “Beda” dan “Berbahaya”

Yus Ariyanto

Saya diminta Mas Ardi Wilda untuk menyusun “Lima Buku Wajib untuk Mahasiswa.” Permintaan ini segera bikin saya garuk-garuk kepala. Karena dibatasi lima, bikin mumet. Rada menyesal mengiyakannya. Dalam imajinasi saya, mahasiswa ideal itu seperti ungkapan dari Superman is Dead: muda, beda, dan berbahaya. Kategori pertama jelas niscaya. Nah, dua kategori berikutnya yang mesti diikhtiarkan. Konon, salah satunya dengan menyimak buku-buku jempolan, fiksi dan nonfiksi.
Dua buku yang diangkat dari catatan harian, Catatan Seorang Demonstran (Soe Hok Gie) dan Pergolakan Pemikiran Islam (Ahmad Wahib), saya coret. Keduanya, saya kira, harus ada di kepustakaan masing-masing. Saya tinggal menyarankan buku-buku lain. Maka, inilah daftar saya. Pasti ada bias: minat, preferensi ideologis, dan keterbatasan jangkauan (iya, ada banyak buku bagus yang belum sempat saya baca hingga kini). Tersusun semata berdasarkan urutan abjad.
Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Ditulis di Pulau Buru, roman ini mengajarkan kita soal hal-ihwal melawan. Tak penting soal menang atau kalah, tapi hayati prosesnya. Pramoedya sendiri telah menjelma ikon perlawanan atas represi yang belum tergantikan. Begitu terbit, Agustus 1980, buku ini langsung dilarang Kejaksaan Agung karena diangggap menyiarkan ide Marxisme. Kalimat terakhir Bumi Manusia telah dipinjam banyak orang untuk aneka keperluan. Ini dia: “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Freakonomics (Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner)
Buku ini memprovokasi kita untuk bersikap skeptis terhadap anggapan-anggapan umum. Sebuah ajakan mencari perspektif baru dalam mencermati kenyataan lama. Itu semua dengan mengusung data, bukan prasangka. Misalnya, benarkah senjata api lebih berbahaya ketimbang kolam renang? Apa yang membuat tingkat kriminalitas menurun drastis? Ditulis dengan pendekatan ilmu ekonomi, sejatinya buku ini buat siapa saja. Lanjutkan juga dengan sekuelnya yang tak kalah memikat, Superfreakonomics.
Manusia dalam Kemelut Sejarah (Aswab Mahasin dkk, penyunting)
Antologi ini merupakan pengantar yang baik untuk mengenal delapan tokoh historis. Onghokham menulis tentang Sukarno, YB Mangunwijaya tentang Sutan Sjahrir, Abu Hanifah tentang Amir Sjarifuddin, dan seterusnya. Esai-esai tersebut semula dimuat di jurnal Prisma, lalu dijadikan buku lantaran kebanjiran peminat. Pengantar dari sejarawan Taufik Abdullah dengan jernih menyajikan teropong filosofis tentang kedudukan “aktor” dan “struktur” dalam karut-marut sejarah. Terbit pertama kali pada 1978, buku ini sekarang harus dicari di lapak-lapak buku bekas
The Kite Runner (Khaled Hosseini)
Setelah puluhan tahun pergi, Amir mesti kembali untuk menyelamatkan anak yang belum pernah dikenalnya. Inilah novel menggetarkan tentang persahabatan, pengkhianatan, dan penebusan dosa. Bukankah hidup memang banyak diwarnai tiga hal tersebut?! Berlatar Afghanistan, Hosseini juga menggamit kita untuk (kembali) menyadari betapa berbahaya pandangan cupet dalam beragama. Relevan buat Indonesia yang juga dihuni para “Taliban wanna be.”
To Have or To Be (Erich Fromm)
Buku ini terbit pertama kali pada 1976. Di saat itu, sejumlah produk sampingan modernitas marak digugat: konsumtivisme, eksploitasi lingkungan, perlombaan senjata nuklir, dan ketimpangan sosial. Buku ini melempar kritik pada orientasi manusia modern yang mengusung modus memiliki (to have): ukuran sukses adalah sebanyak apa individu memiliki benda-benda. Fromm menawarkan modus lain, yaitu menjadi (to be): manusia mengarahkan diri pada upaya aktualisasi diri. Tetap bermanfaat meski hampir 40 tahun berlalu. Fromm sempat menjadi bagian dari Mazhab Frankfurt bersama, misalnya, Herbert Marcuse dan Max Horkheimer.





No comments:

Post a Comment