Pendapat klasik soal menulis
mengatakan penulis yang baik pasti pembaca yang baik. Tak bisa dipungkiri
membaca adalah sebuah hal yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan menulis. Dalam
konteks yang lebih religious bahkan ayat pertama yang diturunkan Tuhan menyuruh
kita membaca. Tentu saja kemudian buku adalah senjata bagi para intelektual
sebelum mereka memegang pena.
Yus Ariyanto, seorang pembaca yang
juga penulis (salah satunya untuk Jakartabeat.net) berbagi lima buku yang
“wajib” dibaca oleh mahasiswa. Kenapa mahasiswa? Sebab program ini mayoritas
diikuti oleh mereka yang masih menyandung status mahasiswa. Juga seperti kata
Gie, mahasiswa adalah soal Buku, Pesta dan Cinta. Artinya sebelum anda pergi ke
gig atau nyepik gebetan ada baiknya sadarilah tugas mahasiswa untuk membaca.
Berikut ini lima buku yang wajib dibaca saat anda duduk di bangku kuliah. (Ardi Wilda)
Menuju
“Beda” dan “Berbahaya”
Yus
Ariyanto
Saya diminta Mas Ardi Wilda untuk
menyusun “Lima Buku Wajib untuk Mahasiswa.” Permintaan ini segera bikin saya
garuk-garuk kepala. Karena dibatasi lima, bikin mumet. Rada menyesal
mengiyakannya. Dalam imajinasi saya, mahasiswa ideal itu seperti ungkapan dari
Superman is Dead: muda, beda, dan berbahaya. Kategori pertama jelas niscaya.
Nah, dua kategori berikutnya yang mesti diikhtiarkan. Konon, salah satunya
dengan menyimak buku-buku jempolan, fiksi dan nonfiksi.
Dua buku yang diangkat dari
catatan harian, Catatan Seorang Demonstran (Soe Hok Gie) dan Pergolakan
Pemikiran Islam (Ahmad Wahib), saya coret. Keduanya, saya kira, harus ada di
kepustakaan masing-masing. Saya tinggal menyarankan buku-buku lain. Maka,
inilah daftar saya. Pasti ada bias: minat, preferensi ideologis, dan
keterbatasan jangkauan (iya, ada banyak buku bagus yang belum sempat saya baca
hingga kini). Tersusun semata berdasarkan urutan abjad.
Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Ditulis di Pulau Buru, roman ini
mengajarkan kita soal hal-ihwal melawan. Tak penting soal menang atau kalah,
tapi hayati prosesnya. Pramoedya sendiri telah menjelma ikon perlawanan atas
represi yang belum tergantikan. Begitu terbit, Agustus 1980, buku ini langsung
dilarang Kejaksaan Agung karena diangggap menyiarkan ide Marxisme. Kalimat
terakhir Bumi Manusia telah dipinjam banyak orang untuk aneka keperluan. Ini
dia: “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Freakonomics (Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner)
Buku ini memprovokasi kita untuk
bersikap skeptis terhadap anggapan-anggapan umum. Sebuah ajakan mencari
perspektif baru dalam mencermati kenyataan lama. Itu semua dengan mengusung
data, bukan prasangka. Misalnya, benarkah senjata api lebih berbahaya ketimbang
kolam renang? Apa yang membuat tingkat kriminalitas menurun drastis? Ditulis
dengan pendekatan ilmu ekonomi, sejatinya buku ini buat siapa saja. Lanjutkan
juga dengan sekuelnya yang tak kalah memikat, Superfreakonomics.
Manusia dalam Kemelut Sejarah (Aswab Mahasin dkk, penyunting)
Antologi ini merupakan pengantar
yang baik untuk mengenal delapan tokoh historis. Onghokham menulis tentang
Sukarno, YB Mangunwijaya tentang Sutan Sjahrir, Abu Hanifah tentang Amir
Sjarifuddin, dan seterusnya. Esai-esai tersebut semula dimuat di jurnal Prisma,
lalu dijadikan buku lantaran kebanjiran peminat. Pengantar dari sejarawan
Taufik Abdullah dengan jernih menyajikan teropong filosofis tentang kedudukan
“aktor” dan “struktur” dalam karut-marut sejarah. Terbit pertama kali pada
1978, buku ini sekarang harus dicari di lapak-lapak buku bekas
The Kite Runner (Khaled Hosseini)
Setelah puluhan tahun pergi, Amir
mesti kembali untuk menyelamatkan anak yang belum pernah dikenalnya. Inilah
novel menggetarkan tentang persahabatan, pengkhianatan, dan penebusan dosa.
Bukankah hidup memang banyak diwarnai tiga hal tersebut?! Berlatar Afghanistan,
Hosseini juga menggamit kita untuk (kembali) menyadari betapa berbahaya
pandangan cupet dalam beragama. Relevan buat Indonesia yang juga dihuni para
“Taliban wanna be.”
To Have or To Be (Erich Fromm)
Buku ini terbit pertama kali pada
1976. Di saat itu, sejumlah produk sampingan modernitas marak digugat:
konsumtivisme, eksploitasi lingkungan, perlombaan senjata nuklir, dan
ketimpangan sosial. Buku ini melempar kritik pada orientasi manusia modern yang
mengusung modus memiliki (to have): ukuran sukses adalah sebanyak apa individu
memiliki benda-benda. Fromm menawarkan modus lain, yaitu menjadi (to be):
manusia mengarahkan diri pada upaya aktualisasi diri. Tetap bermanfaat meski
hampir 40 tahun berlalu. Fromm sempat menjadi bagian dari Mazhab Frankfurt
bersama, misalnya, Herbert Marcuse dan Max Horkheimer.
No comments:
Post a Comment