Untuk anda yang
merasa skripsi adalah beban paling berat sedunia, pesan saya satu saja, “Bangun
Woi!”. Peperangan sebenarnya adalah ketika anda melepas toga. Lupakan IP besar
anda, lupakan pendamping wisuda, dan lupakan dunia perkuliahan, selamat datang di
peperangan sebenarnya kawan. Sayangnya tak banyak yang menyadari hal ini sejak
awal, akibatnya keluar dari kampus seperti seorang veteran yang kalah perang,
dan disitulah baru terasa selama ini kita tertidur.
Iqbal Muhammad
Hamdan (@babalhamdan) membuat sebuah tulisan yang begitu tegas membangunkan
kita akan hal ini. Apa yang harus kita lakukan ketika kita lulus, “Post Grad,
Now What?” katanya tegas. Babal Hamdan membagi bagaimana ia sempat menjadi
seorang yang cocok menjadi bintang video klip “Sarjana Muda-nya” Iwan Fals. Ia
berbaik hati berbagi cerita mengenai kondisinya setelah lulus agar anda bisa
bangun sejak awal. Baca tulisan ini dan hentikan rintihan anda soal skripsi.
Selamat membaca. (Ardi Wilda)
POST
GRAD, NOW WHAT?
Post-Grad (2009), Film remaja produksi 2009 pernah
mengangkat kegalauan remaja pasca lulus dari universitas. Ryden Malby (Alexis
Bledel), seorang gadis cantik yang periang dan optimis diceritakan baru lulus kuliah. Dengan penuh optimisme ia
pun melamar ke perusahaan yang diincarnya sejak duduk di bangku kuliah. Malangnya ia gagal, bahkan harus mengulang kegagalan itu berkali-kali
saat melamar di perusahaan lain. Karenanya ia harus pulang ke rumah dan tinggal
bersama orangtuanya sampai mendapatkan pekerjaan.
Kisah Ryden Melby sedikit banyak relevan dengan apa yang saya
alami pasca-wisuda. Seorang pria 22 tahun, baru lulus dari univeritas
terkemuka, berat badan kurang ideal,
namun optimis bisa diterima di perusahaan multinasional. Saya pun kemudian
melamar beberapa perusahaan degan penuh percaya diri, namun belum berhasil.
Istilah belum berhasil sepertinya lebih tepat
digunakan daripada gagal karena dari pengalaman-pengalaman itu saya mendapat
banyak pembelajaran. Pertama,
jujurlah dalam menjawab pertanyaan tes psikologi. Setiap pekerjaan
mempunyai spesifikasi masing-masing, begitu juga diri kita. Seorang psikolog
pernah memberitahu saya kalau ia terpaksa tidak meloloskan seorang kandidat
karena jawabannya tidak sinkron satu sama lain. Mereka dapat membaca karakter seseorang melalui alat tes, bahkan
goresan tangan jadi tidak ada gunanya memanipulasi. What kind of sorcery is this?
Kedua, kenali dengan baik perusahaan dan
bidang kerja yang kita lamar. Pernah
suatu ketika saya menjalani tes wawancara di sebuah surat kabar nasional, sebut
saja “Bunga”. Setelah menanyakan soal
latar belakang pribadi, pewawancara bertanya,
“Pernah baca Koran Bunga?”. “Pernah Mas,
seminggu dua kali lah pas weekend”,
jawab saya. “Rubrik apa yang biasanya kamu baca?” tanyanya lagi. “Lowongan
kerja mas.” , dan seisi ruangan itu hening seketika. Epic fail, saya kurang riset.
Ketiga, kemampuan
meyakinkan orang lain itu penting. Setelah melewati beberapa tahapan tes, kita
akan diwawancarai langsung oleh user atau calon atasan kita. Di sini kita harus
mampu meyakinkan mereka bahwa kita mampu menerima tanggungjawab yang akan
diberikan. Saya kerap salah tingkah di sini, suka goyang-goyang sendiri.
Terakhir, jangan
pernah menyerah, banyak jalan menuju Roma (ah saya jadi bawa-bawa nama Bang
Haji lagi) . Di akhir cerita Ryden Melby mendapatkan kesempatan kedua dan
diterima bekerja di perusahaan idamannya. Ia terus berusaha dan belajar dari
kegagalan hingga usahanya berbuah manis. Saya sendiri saat ini mendirikan rumah
produksi dengan beberapa rekan dan terus berproses menggapai cita-cita yang kami gantung tinggi. Semoga
berbuah manis.
No comments:
Post a Comment