Sunday, 13 May 2012

Penulis Tamu Kedelapan #31harimenulis


Untuk anda yang merasa skripsi adalah beban paling berat sedunia, pesan saya satu saja, “Bangun Woi!”. Peperangan sebenarnya adalah ketika anda melepas toga. Lupakan IP besar anda, lupakan pendamping wisuda, dan lupakan dunia perkuliahan, selamat datang di peperangan sebenarnya kawan. Sayangnya tak banyak yang menyadari hal ini sejak awal, akibatnya keluar dari kampus seperti seorang veteran yang kalah perang, dan disitulah baru terasa selama ini kita tertidur.
Iqbal Muhammad Hamdan (@babalhamdan) membuat sebuah tulisan yang begitu tegas membangunkan kita akan hal ini. Apa yang harus kita lakukan ketika kita lulus, “Post Grad, Now What?” katanya tegas. Babal Hamdan membagi bagaimana ia sempat menjadi seorang yang cocok menjadi bintang video klip “Sarjana Muda-nya” Iwan Fals. Ia berbaik hati berbagi cerita mengenai kondisinya setelah lulus agar anda bisa bangun sejak awal. Baca tulisan ini dan hentikan rintihan anda soal skripsi. Selamat membaca. (Ardi Wilda)
POST GRAD, NOW WHAT?

Post-Grad (2009), Film remaja produksi 2009 pernah mengangkat kegalauan remaja pasca lulus dari universitas. Ryden Malby (Alexis Bledel), seorang gadis cantik yang periang dan optimis diceritakan  baru lulus kuliah. Dengan penuh optimisme ia pun melamar ke perusahaan yang diincarnya sejak duduk di bangku kuliah.  Malangnya ia gagal, bahkan harus mengulang kegagalan itu berkali-kali saat melamar di perusahaan lain. Karenanya ia harus pulang ke rumah dan tinggal bersama orangtuanya sampai mendapatkan pekerjaan.
Kisah Ryden Melby  sedikit banyak relevan dengan apa yang saya alami pasca-wisuda. Seorang pria 22 tahun, baru lulus dari univeritas terkemuka,  berat badan kurang ideal, namun optimis bisa diterima di perusahaan multinasional. Saya pun kemudian melamar beberapa perusahaan degan penuh percaya diri, namun belum berhasil.
Istilah belum berhasil sepertinya lebih tepat digunakan daripada gagal karena dari pengalaman-pengalaman itu saya mendapat banyak pembelajaran. Pertama, jujurlah dalam menjawab pertanyaan tes psikologi. Setiap pekerjaan mempunyai spesifikasi masing-masing, begitu juga diri kita. Seorang psikolog pernah memberitahu saya kalau ia terpaksa tidak meloloskan seorang kandidat karena jawabannya tidak sinkron satu sama lain. Mereka dapat membaca karakter seseorang melalui alat tes, bahkan goresan tangan jadi tidak ada gunanya memanipulasi.  What kind of sorcery is this?
Kedua, kenali dengan baik perusahaan dan bidang kerja yang kita lamar. Pernah suatu ketika saya menjalani tes wawancara di sebuah surat kabar nasional, sebut saja “Bunga”.  Setelah menanyakan soal latar belakang  pribadi, pewawancara bertanya, “Pernah baca Koran Bunga?”.  “Pernah Mas, seminggu dua kali lah pas weekend”, jawab saya. “Rubrik apa yang biasanya kamu baca?” tanyanya lagi. “Lowongan kerja mas.” , dan seisi ruangan itu hening seketika. Epic  fail, saya kurang riset.
Ketiga, kemampuan meyakinkan orang lain itu penting. Setelah melewati beberapa tahapan tes, kita akan diwawancarai langsung oleh user atau calon atasan kita. Di sini kita harus mampu meyakinkan mereka bahwa kita mampu menerima tanggungjawab yang akan diberikan. Saya kerap salah tingkah di sini, suka goyang-goyang sendiri.
Terakhir, jangan pernah menyerah, banyak jalan menuju Roma (ah saya jadi bawa-bawa nama Bang Haji lagi) . Di akhir cerita Ryden Melby mendapatkan kesempatan kedua dan diterima bekerja di perusahaan idamannya. Ia terus berusaha dan belajar dari kegagalan hingga usahanya  berbuah  manis. Saya sendiri saat ini mendirikan rumah produksi dengan beberapa rekan dan terus berproses menggapai  cita-cita yang kami gantung tinggi. Semoga berbuah manis.




No comments:

Post a Comment