Pengantar admin: Penulis tamu kali ini sedikit spesial. Ia tak menceritakan tips menulis atau cerita magang seperti biasanya. Yang ia ceritakan adalah hobi dan pengalamannya menonton konser. Di kalangan orang yang giat menonton konser musik indie atau cutting edge (atau apapun lah istilah yang njelimet itu) dia dijuluki ratu gigs. Hal ini karena ia sering sekali pergi dari konser ke konser. Selain seorang maniak konser ia juga seorang pianis handal, ia pernah satu panggung dengan Risky Summerbee and The Honeyhief, Frau dan Kartika Yahya alias Tika. Kini secara tak terduga ia "mengundurkan diri" dari dunia konser, entah apa yang ada di pikirannya. Namun tulisan ini akan membuktikan kalau konser bukan sekedar jingkrak-jingkrak tak jelas. Konser punya pengaruh besar di hidup setiap orang. Andrea membuktikannya.
Ratu Gigs, Ada Acara Apa Bulan Ini?
Oleh: Andrea Andjaringtyas Adhi
Jika empat tahun lalu ditanya dimana saya ingin kuliah, saya akan dengan yakin menjawab ITB. Kenapa? Alasannya simpel. “Biar bisa ngegigs, nonton Mocca tiap hari.” Biasa, mimpi anak muda suka liar dan beringas. Namun apa dikata, memang banyak jalan menuju Roma.
Kegilaan saya akan musik indie awalnya dimulai SMA. Sering nekat naik kereta ekonomi ke UI bersama Mitut (sahabat karib saya) demi menonton aksi Bang Ale dengan The Adams-nya. Ah, saya rindu melihat live-nya The Adams! Lalu karena SMA juga terjun ke kancah per-indie-an Bogor, pilihan musik yang didengar tuh variatif. Kegemaran akan britpop bisa membuat saya bermain di band screamo. Jangan kaget.
Lalu, akhirnya saya pun memilih untuk menghabiskan (kurang lebih) 4 tahun di Yogyakarta. Sempat sedih karena menganggap tidak bisa merasakan hasrat ngegigs seperti waktu SMA. Namun, Tuhan punya rencana lain. Bisa dibilang, empat tahun terakhir ini terekam menjadi album gigs yang tak terlupakan. Dari rela teriak “Arina” dari backstage Kridosono sampai ke Jogja National Museum nonton Oh Nina. Dari nonton Goodnight Electric di Liquid jam 2 pagi ketika jam 4 sore ujian Ekonometrika, hingga rela mengantri 2 jam sebelum mulai gig-nya supaya bisa dapet tempat duduk paling depan. Semua tingkah laku konyol bin ajaib ini dilakukan tanpa ada maksud tertentu, namun hanya memuaskan hasrat gigs yang dahsyat. Satu yang selalu menjadi buruan saya ketika nonton gigs : setlist.
Ide setlist itu saya terapkan dalam hidup ketika duduk di bangku SMA. Konser The Corrs di Brussels waktu itu menyadarkan saya bahwa sangat useless untuk menunggu di depan barikade sambil berharap Andrea bersalaman dengan saya sambil memberi tanda tangan. Pada hasilnya, kertas-kertas berisi “technical rider” itu pun menjadi bukti sejarah idola sepanjang masa saya itu. Dari situlah, dimulai pemburuan setlist saya. Mungkin disini saya bisa memberi beberapa setlist yang cukup berarti, dalam empat tahun terakhir ini. Setlist yang memberi kebahagiaan tersendiri sebagai mahasiswa Ilmu Ekonomi…
1. Mocca, 18 April 2009 di JEC
Jadi, saya niat datang ke Kickfest untuk menonton Mocca. Kebetulan setelah Mocca manggung, ada Koil manggung. Sungguh aliran yang berbeda, namun saya tetap nekat untuk maju di barisan paling depan. Alhasil, saya pun sederet dengan para fans Koil. Bisa dibayangkan saudara-saudara, saya berada paling depan dan bernyanyi tanpa mengenal malu dan lelah kesebelas lagu yang Mocca nyanyikan. Bahkan di belakang saya sudah siap para pengagum Koil yang nampaknya tak mau tempatnya direbut oleh saya.. “Mas, saya di depan dulu ya, nanti pas Koil Mas boleh kok di depan lagi…” Keringat itu benar-benar menciptakan kepuasan tersendiri. Setlist ini pun didapat dengan perjuangan keras berteriak ke arah panggung. Brutal.
2. White Shoes and The Couples Company, 29 Juni 2009 di LIP Jogja
Memang pantas jika dibilang ‘Senja Menggila”, karena di gig itu, suasana pun menggila. Saya yang kebetulan pencinta berat Saleh Hussein itu sangat (amat) menikmati malam itu. Sulit diungkapkan dengan kata-kata, tapi WSATCC benar-benar mempesona. Lagu-lagunya itu membuat mulut dan badan tidak dapat menolak dengan irama dan melodinya. I looked tipsy, even though I didn’t drink at all… Setlist yang didapat ini hasil perjuangan dengan Mas-Mas sebelah yang sepertinya juga fans dari Bang Ale. Satu kasus lagi. Saya mengincar setlist yang dilihat langsung oleh idola saya. Misalkan di suatu band saya penggemar si drummer, otomatis saya akan mengincar setlist yang tertempel langsung untuk sang drummer. Menurut saya, itu semacam cara saya mengagumi seseorang. “Ini setlist yang tadi si drummer selalu lihat selama 2 jam main…” Lebay sih… Intinya, ada semacam romantisme sendiri di balik itu.
3. The Trees And The Wild, Amphiteater TBY, lupa tanggalnya
Ini acaranya Forum Musik Fisipol UGM jika tidak salah. Namanya Hasta Manana. Yang paling istimewa dari setlist ini adalah saya mendapatkan dengan jerih payah kegemaran “iron woman” saya. Iron woman itu diartikan (dalam kamus saya) dalam hobi bolak-balik dari suatu tempat ke tempat lain dalam waktu yang berdekatan, atau bisa dibilang mepet. Nah, sebelum sampai di TBY, tebak saya dimana? Bandara Adisucipto, saudara-saudara. Saya mengejar flight malam dari Jakarta-Yogyakarta. Untungnya ada adik tingkat saya, Ave, yang saya titipin koper saya. Lalu, sesegera itu saya dijemput oleh teman saya, Farza, menuju TKP. Telat sedikit sih, karena saya sempat missed performance dari Risky Summerbee atau Individual Life (saya sedikit lupa), jika tidak salah… Selain karena “NIAT”, itu kali pertama saya menonton TTATW di Yogyakarta, karena sebelumnya 2008 saya sempat menonton mereka di We Are Pop di Hey Folks. Mereka itu luar biasa. Saya seperti terhipnotis, apalagi oleh gaya cool-nya Remedy dan Iga… Mereka sukses membuat saya meleleh malam itu. Terima kasih untuk Mas Tuki yang dengan senang hati mengambilkan setlist ini untuk saya. Terima kasih juga untuk kalian yang berteriak “Andrea.. Andrea..” sehingga saya melompat ketinggian 2 meter dan berakhir di tangkapan Ugo Melancholic Bitch. Duet dadakan.
Mungkin baru tiga itu yang bisa saya ceritakan. Saya jadi rindu dengan masa kejayaan itu. Memori yang (sedikit) sulit untuk diulang lagi. Bisa diambil sample dari banyaknya populasi (bahasanya kok statistik banget?). Tiga setlist ini didapat ketika nonton gigs bersama kawan andalan yang dulu gila-dibawa-nonton-apa-saja, Damai namanya. Ah, perjalanan gigs bersama dia bisa diceritakan tujuh hari tujuh malam tanpa henti . Kesukaan band sama meski idolanya berbeda. Lucu ya kalo diingat bagaimana dulu bisa hidup bebas kayak ngga mikir? Gigs semacam bumbu manis ibarat di makanan. Bumbu yang kalo terlalu manis pun rasanya nggak enak. Kecintaan akan bumbu manis ini hingga membuat saya siap menjadi ratu tiket untuk mereka yang ingin menonton gigs. Siap menjadi koordinator baik tiket maupun konser di hari H. Bahkan, sms “ratu gigs, ada acara apa bulan ini?” atau “woi ratu gigs, ntar malem lo dateng nggak?” sempat menjadi sms favorite. Freak ya?
Gigs itu (tadinya) semacam zona tidak nyaman yang saya gali di Yogyakarta, dengan didasari atas kekecewaan saya tidak dapat nonton gigs di Bandung. Band-band lokal baru yang justru membuat saya lebih berwarna membuat nge-gigs menjadi zona nyaman saya. Selalu ada pikiran dimana zona nyaman berarti posisi dimana saya harus segera keluar dari zona itu, dan mulai merasakan kenyamanan lain. Ini mungkin waktunya saya keluar. Bukan berarti berhenti, tapi lebih membatasi diri. Dari level 10, mungkin diturunkan ke level 5. Bikin hidup lebih dinamis, bukan? Berharap jabatan “ratu gigs” yang saya emban selama empat tahun terakhir ini menjadi cerita untuk anak cucu saya nanti. Apa harus ada kaderisasi “ratu gigs“, atau itu adalah jabatan seumur hidup?
*Ditulis dalam rangka undangan sebagai penulis tamu di #31harimenulis, sebuah proyek buatan mahasiswa-mahasiswa Komunikasi UGM yang berusaha meyakinkan kalau kegiatan menulis itu menyenangkan dan menghasilkan. Terima kasih, Awe atas undangannya. It’s such an honor to be invited by such a great young jurnalist.
*Ditulis bersamaan ketika Awe bertanya, “Tanggal 15 nonton White Shoes nggak, Ndre?”
No comments:
Post a Comment