Monday 9 May 2011

Hujan Menulis Ayam (Tulisan [Semoga Jadi] Penyemangat untuk “Gerakan” #31 Hari Menulis)

Sedianya saya menulis semacam pengantar ini enam hari yang lalu ketika bung Ardi Wilda Irawan aka Awe yang “sangar” memintanya. Harapan saya pengantar singkat ini paling tidak bisa mengajak pelakon “gerakan” #31 hari menulis untuk tetap antusias menulis sampai ujung bulan Mei. Sengaja saya menggunakan istilah gerakan untuk memberikan kesan aktivitas komunitas ini gahar dan angker. Kira-kira biar miriplah dengan gerakan 1 juta Facebooker menolak studi banding DPR, apalagi anggota DPR yang hanya bisa memberikan alamat email Komisi8@yahoo.com dan plesiran ke stadion mili Real Madrid, Santiago Barnebeau. Lagipula, motif saya yang lain adalah agar peserta “kompetisi” ini tak didenda Rp. 20.000,- per hari bila tak menulis. Kan sayang uangnya, bila tiga hari tak menulis berarti sudah seharga satu album Indonesia. Pada hari ketujuh ini akhirnya saya bisa menulis semacam tulisan pengantar dan penyemangat pada hari keenam dari kegiatan #31 hari menulis. Walau serasa mirip cheerleader karena berperan menyemangati, pada dasarnya menulis itu memiliki banyak fungsi yang beberapa di antaranya coba saya dedahkan pada bagian berikut.

Entah mengapa ketika berniat menulis tentang menulis sekelebat dan agak tiba-tiba saya ingat dengan judul salah satu buku “Hujan Menulis Ayam” karya Sutardji Calzoum Bachri, seorang empu kata Indonesia, yang pernah melakukan pemisahan bentuk formal kata dengan maknanya. Dahulu ketika membaca puisi-puisi Sutardji saya sungguh terkesima sambil bingung. Ini saya tidak terlalu terkesima lagi walaupun tetap bingung…hehe. Saya kira inti dari menulis, seperti yang termaktub dalam judul “Hujan Menulis Ayam”, adalah keberanian. Keberanian si penulis untuk merangkai kata terlebih dahulu tanpa terlalu peduli dengan kualitas. Asalkan tidak menyerang secara personal dan berlebihan, tulisan sebenarnya wajib ditulis dengan tanpa rasa khawatir. Jadi, fungsi pertama dari menulis adalah berani mengutarakan pendapat dan isi hati. Hal ini pun dijamin dalam konstitusi negeri hebat ini. Namun tetap koridor hukum dan etika perlu selalu diperhatikan. Bila sudah terpenuhi semua, jangan pernah takut menulis.

Fungsi kedua dari menulis tentu saja berinteraksi dengan orang lain. Menulis adalah salah satu cara berkomunikasi dan di dalam berkomunikasi paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. Semakin tinggi kecakapan literasi, membaca dan menulis, seseorang semakin berpotensi berkomunikasi dengan baik. Tentu saja ada syarat lain, si penulis tadi tidak berlebihan mencintai dirinya sendiri atau narsis agar bisa berkomunikasi dengan orang lain dengan baik. Bisa saja kita menulis secara swasembada, menulis yang ditujukan untuk diri sendiri, dibaca sendiri, dikomentari sendiri, dipuji sendiri, tetapi bentuk aktivitas menulis seperti ini bukanlah bentuk komunikasi yang benar dan sehat. Pengalaman bahwa menulis itu lebih mengasyikkan bersama-sama terjadi pada diri saya.

Hal ini ditandai dengan antusiasme saya yang menurun drastis untuk menulis dua bulan ini. Antusiasme tersebut jauh menurun agak tajam bila dibandingkan sekitar setahun lalu ketika saya bisa menyelesaikan minimal satu tulisan per hari, persis seperti yang coba dilakukan oleh teman-teman #31 hari menulis selama bulan Mei 2011 ini. Mungkin memang dasarnya sudah malas atau saya terlalu asyik mengakses konten media sehingga saya malah lupa menulis. Atau kemungkinan lain, saya tetap menulis namun tulisan tersebut berformat lebih resmi demi keperluan profesi. Terus terang saya tak terlalu tahu penyebab utamanya. Namun salah satu penyebab yang saya sadari betul adalah sedikitnya teman-teman untuk berbagi pikiran dan perasaan melalui tulisan saat-saat ini. Beberapa rekan menulis sudah terlalu sibuk sehingga tidak lagi mengagih perasaan dan pemikirannya. Beberapa rekan yang lain senasib dengan saya, mesti banyak membaca dan belum sempat menuliskannya. Bahkan yang lebih mengejutkan setelah saya amati lagi, beberapa rekan saya memang sudah tak menulis di mana pun. Ternyata kemalasan itu memang menular, paling tidak dalam konteks tulis-menulis.

Lain halnya bila kita menulis dengan teman-teman. Keberadaan teman akan membuat kita antusias menulis. Perasaan bahwa tulisan kita ada yang membaca dan syukur syukur dikomentari adalah kebahagiaan tersendiri. Situs penyedia blog dan jejaring sosial turut membantu hal ini. Bagi saya alasan menulis antara lain adalah bisa berbagi dengan banyak teman, bahkan ada rasa bahagia yang tak terpermanai bila ada rekan yang bisa mengambil manfaat dari apa yang kita tulis. Kalimat tfs, thank for sharing, adalah mantera yang sangat kuat bagi kita untuk menulis lagi dan lagi.

Selain itu, menulis adalah aktivitas tidak terelakkan bagi pembelajar. Ketakterelakkan yang menyenangkan tentu saja. Seorang pembelajar pasti harus menulis sesuatu. Terserah hasil tulisannya baik atau buruk, menulis pasti dilakukan oleh pembelajar untuk tugas yang paling kecil sekalipun, katakanlah tugas mingguan 500 kata. Belum lagi tugas-tugas yang lebih “berat”, misalnya tugas kelompok yang bisa sampai 3000 kata. Pada ujung kuliah pun, pembelajar harus menyusun skripsi atau tesis. Pendeknya, pembelajar haruslah bahagai dengan menulis dan berusaha terus meningkatkan kemampuannya menulis. Tak ada pilihan lain: menulis itu tak terelakkan. Ketika bekerja pun demikian adanya. Pembelajar yang nantinya menjadi jurnalis, pasti akan menulis berita. Pembelajar yang nantinya menjadi seorang staf humas, mau tau mau harus bisa menulis rilis media dengan baik dan benar. Juga bagi pembelajar yang ingin terjun dalam dunia periklanan, iklan yang bagus selalu diawali penulisan naskah yang bagus pula.

Dengan begitu, saya sangat senang dan turut bangga dengan hadirnya aktivitas menulis bersama bernama #31 hari menulis ini. Menulis dengan nikmat dan berani itu suatu rahmat yang sulit ditemukan lagi pada fase kehidupan yang lain. Menulis yang berani dan nikmat tersebut bahkan menjadi lebih mengasyikkan karena dilakukan bersama-sama. Seandainya saja saya bisa melakukan aktivitas yang sama dengan teman-teman #31 hari menulis, tentu saja saya berusaha tidak didenda. Walau begitu, menghindari denda janganlah menjadi alasan untuk menulis. Judul bisa tertulis “Hujan Menulis Ayam” atau “Ayam Membaca Cinta” tetapi kitalah yang bebas untuk menulis. Beranilah menulis dan kemudian nikmati saja prosesnya sedalam mungkin. Salam hangat dan sukses selalu untuk siapa pun yang terlibat dengan #31 hari menulis atau siapa pun pembelajar yang ingin menulis dengan berani dan menikmatinya dengan utuh penuh.

#####
ditulis oleh: Wisnu Martha Adiputra (Dosen Komunikasi UGM)

No comments:

Post a Comment