Monday, 15 May 2017

PENULIS TAMU KEENAM


Penulis tamu kini datang dari Minnesota , murica. Seorang pemudi yang gemar masak untuk suami dan menulis demi uang jajan sendiri. Mungkin tulisan ini terlalu dini untuk kalian baca, tapi lumayan lah, untuk sudut pandang baru di masa depan.


enjoy ~

Kami Sepasang ‘Pengangguran’
Oleh Terry Perdanawati

                Di malam terakhir sebelum menjadi istri Jay Afrisando, salah satu kerabat saya memberikan wejangan panjang tentang pernikahan. Banyak sekali yang disampaikannya, namun ada satu hal yang paling saya ingat sampai sekarang, “jodoh milih sendiri, mesti konsekuen, kalau nanti ada kurang-kurang rejeki harus dihadapi bersama, jangan disesali”.
Tersinggung? Saya sih tidak. Justru saya menahan geli karena membayangkan bagaimana kerabat saya ini mengkhawatirkan masa depan saya, seorang pengajar di universitas yang memutuskan menikah dengan musisi/komposer yang secara umum masih sering dikategorikan sebagai pengangguran oleh masyarakat.
Saya tidak 100% menyalahkan pandangan masyarakat yang demikian karena sesungguhnya saat itu pria yang kelak menjadi suami saya ini adalah musisi/komposer yang masih dalam masa awal karir; uang yang keluar untuk investasi karir setara dengan penghasilan, atau malah jauh lebih banyak pengeluarannya.
Tapi dasarnya saya ini cah embuh yang nekat dan terlanjur tenggelam dalam cinta, maka ya sudah lah ya. Persetan dengan kata orang, mari menikah saja. Terutama juga karena sesungguhnya seluruh perhitungan sudah kami lakukan. Intinya, kami percaya bahwa visi ke depan lebih penting daripada sekadar ‘kerja apa sekarang’.
Tiba-tiba kami menjadi pasangan yang super sibuk. Sebagai pria berprinsip bahwa perempuan itu terbuat dari tulang rusuk sedangkan laki-laki adalah tulang punggung, suami saya bekerja keras memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan mengandalkan honor main musik reguleran di beberapa restoran di Jogja, jadi guru privat musik, dan juga ikut serta dalam usaha-usaha memeriahkan pesta pernikahan orang lain.
Namun di sisi lain, idealismenya sebagai musisi/komposer dalam berkarya tetap hidup dan tetap memakan biaya untuk investasi. Bikin album karya dan bikin pertunjukan dengan biaya yuta-yuta yang embuh entah bagaimana nanti balik modalnya. Ha-ha-ha-ha
Saya? Sambil mengajar, saya masih harus menyelesaikan studi pascasarjana, bekerja di agensi digital, sekaligus membantu suami membangun karirnya, juga masih suka bekerja paruh waktu untuk klien yang bahkan belum pernah atau jarang bertatap muka. Jadi wanita karir? Ah saya mah cita-citanya adalah menjadi ibu rumah tangga yang masak-masak, jalan-jalan, macak-macak, dan leha-leha aja gitu. Tapi yang namanya hidup, tidak ada suatu leha-leha tanpa didahului usaha, ye kan?
Lima bulan setelah pernikahan, suami saya terpilih menjadi salah satu peserta program Cultural Partnership Initiative dari pemerintah Korea Selatan dan diberikan kesempatan untuk belajar musik tradisional Korea selama lima bulan di Seoul. Di sini lah awal mula kerajaan api menyerang dan mengubah arah karir saya. Cieee karir… #halah
Kalau ada istilah mbok-mboken alias anak mami yang susah lepas dari orang tua, saya ini bojo-bojonen. Tidak tahan ditinggal berbulan-bulan, akhirnya dengan mengakali segala macam jadwal saya menyusul untuk tinggal di Seoul. Sepulangnya kami dari sana, ada sekelebat rasa bahwa sesungguhnya akan jauh lebih menguntungkan jika saya memiliki pekerjaan yang fleksibel (baca: yang tidak usah ngantor) karena sifat saya yang bojo-bojonen dan sifat pekerjaan suami saya yang tidak bisa ditebak kapan akan ke mana.
Akhirnya di tahun 2015, saya memutuskan untuk menjadi ‘bukan anak kantoran’ walau punya kantor. Saya sepenuhnya bekerja di luar kantor, walaupun sesungguhnya kalau ditanya sih saya punya kantor. Sampai saat ini masih cukup penting buat urusan bikin visa. Surat rekomendasi kantor masih jadi surat sakti urusan imigrasi. Ba-ha-ha-ha.
Beberapa orang, termasuk ibu dan juga mertua saya sempat mempertanyakan keputusan saya yang lebih memilih meninggalkan karir yang jelas terpampang nyata, untuk menemani suami saya menjadi ‘pengangguran’; meninggalkan penghasilan tetap walaupun tetap berpenghasilan. Ya kadang pilihan hidup kita tidak mudah dipahami orang lain sih. Tapi hidup cuma sekali, gaes. Lakukan yang membuatmu bahagia atau menyesal selamanya.
Sering kali kami jadi bahan gunjingan tetangga karena status ‘pengangguran’ kami. Bahkan yang ekstrim, ada yang mengira kami ngepet. Ya mau bagaimana, tidak pernah kelihatan kerja tapi bisa belanja. Suaminya pergi malam pulang dini hari, istrinya menunggu di rumah. Apalagi kalau bukan ngepet? Lucu sih. Ya bagaimana lagi ya?
Tapi keputusan saya cukup tepat rasanya. Dengan bekerja di luar kantor, saya belajar berbagi waktu antara bekerja dan membantu suami bekerja, antara masak-masak dan cari duit buat macak, juga antara leha-leha dan deadline tanpa jeda. 
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi serta makin terbukanya akses informasi, sekarang ini sepertinya sudah banyak orang yang mengerti bahwa bekerja tidak selalu harus datang ke kantor. Karir tidak selalu bermakna jabatan, tapi lebih pada kepuasan dalam bekerja dan pengalaman-pengalaman baru dalam kehidupan. Alhamdulilah-nya, sudah tidak banyak lagi yang berkata, “sarjana kok nggak cari kerja?”. 
Tidak terasa hampir dua tahun kami menjalani hari menjadi ‘sepasang pengangguran’. Bekerja dari satu deadline ke deadline lainnya, dari satu hibah seni ke hibah seni lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya, dan sekarang semampir di Minnesota.
Jalan nasib dan karir suami saya membawa kami menjadi penduduk sementara mamahrika; sebuah keuntungan buat saya yang pernah kuliah American Studies, bisa jadi pengamat sosial-politik jadi-jadian di sini. Suami kembali ke bangku kuliah di jurusan komposisi musik dan sedang semangat-semangatnya riset di bidang musik dan teknologi sambil terus menulis komposisi dan mementaskannya. Sedangkan saya masih bekerja untuk kantor dan urusan yang sama sambil sesekali mengajar ngaji.


Jadi singkat kata, jika tak enak melabeli kami ‘sepasang pengangguran’ mungkin sebut saja kami ini ‘sepasang mahasiswa dan guru TPA’. 

#31harimenulis

No comments:

Post a Comment