Saturday 3 November 2018
PENGUMUMAN PEMENANG BLOGGER TERANGKER #5!!!
Kayaknya udah capek yaa kalo penulis-penulis kesayangan Bang Wiro dan para selir ini denger Bang Wiro minta maaf karena telat pengumuman pemenang? Maafkan Bang Wiro dan selir ya teman-teman :( Pingin jelasin kenapa pengumumannya telat, tapi pasti pada bilang “halah alasan”. Tapi tetap Bang Wiro akan menjelaskannya nanti sebagai bentuk pertanggung jawaban. Begitu, ya? Hehe.
Juri 31 Hari Menulis ke-5 kali ini kami datangkan dari salah alumni kita yang sampai saat ini turut berkontribusi sebagai peneliti di DECODE UGM (nama baru dari New mesis - sebuah informasi untuk angkatan tua, hehe). Nggak hanya berkutat di penelitian, tapi Mbak Mashita ini juga aktif banget nulis di kolom blog-nya. Buat yang penasaran, langsung aja bisa kunjungi laman blog Mbak Mashita di www.mashitafandia.com. Okedeh, langsung aja Bang Wiro lampirkan pengumuman pemenang dari juri kita, Mbak Mashita:
***
Membaca tulisan-tulisan para peserta @31harimenulis merupakan sesuatu yang menyenangkan. Meskipun pada dasarnya saya suka membaca, kelebihan membaca blog atau tulisan pribadi adalah hal tersebut memungkinkan kita untuk melihat ke dalam benak dan pikiran si penulis; yang mungkin tidak akan sanggup kita dapati melalui kehidupan sehari-hari di luar tulisan. Bagi saya, hal tersebut selalu menjadi perjalanan yang menyenangkan.
Ketika pertama kali diminta untuk menjadi juri dalam festival menulis tahunan milik anak Komunikasi ini, jujur saya agak kaget, karena merasa kompetensi saya belum se-oke itu untuk layak menjadi juri dan menilai tulisan teman-teman. Namun di sisi lain, saya merasa senang, karena sebagai mantan peserta, akhirnya saya bisa memberikan kontribusi dalam bentuk lain kepada festival ini. Alhasil, saya memberanikan diri untuk mengiyakan permintaan panitia.
Menurut saya, tidak ada penilaian yang objektif untuk sesuatu yang berangkat dari hal yang personal, seperti tulisan teman-teman di @31harimenulis. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus saya utarakan sebelum mengumumkan siapa blogger ter-Angker versi saya kali ini. Pertama-tama, saya mengapresiasi keberanian teman-teman peserta, karena kegiatan menulis berangkat dari keberanian; keberanian untuk mengungkapkan apa yang ada di hati dan pikiran kita untuk dilihat oleh dunia. Hal ini mengarahkan pada poin kedua: penilaian saya dasarkan pada tingkat keberanian tersebut; semakin si penulis berani untuk menelanjangi dirinya melalui tulisan maka semakin tinggi nilai yang saya berikan. Terakhir, tiap penulis memiliki gaya bertutur yang berbeda-beda. Menyadari hal tersebut, saya mendasarkan nilai pada aspek familiaritas. Maksudnya, semakin saya merasa familiar/akrab dengan gaya tuturnya, maka semakin menarik tulisan-tulisan itu bagi saya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, saya menjatuhkan pilihan pada blog milik:
AEF ANAS
sebagai BLOG TER-ANGKER kali ini. Tulisan-tulisan Aef berhasil membuat saya seolah sedang menonton sebuah film dokumenter tentang seorang pemuda di tengah kegelisahan-kegelisahannya dalam menjalani hidup. Sederhana, namun sarat akan makna.
Terakhir, terima kasih kepada panitia @31harimenulis atas kesempatan yang diberikan kali ini kepada saya. Bagi saya pribadi, meskipun terkesan sederhana, momen ini menjadi motivasi bagi saya untuk terus menulis dan membaca. Semoga, begitu pula dengan teman-teman. Semoga festival ini bisa terus berlangsung, selama Departemen Ilmu Komunikasi masih berdiri. Selamat dan semangat!
Mashita Fandia
***
Woow! Selamaat untuk AEF ANAS, pemilik aefanas.tumblr.com yang terpilih sebagai BLOGGER TERANGKER 31 Hari Menulis episode 5!!! Selir Bang Wiro akan segera menghubungimu untuk memberikan hasil kena kapak a.k.a denda yang telah dikumpulkan dengan susah payah oleh selir Bang Wiro. Eitss, tapi jangan lupa berbagi 25% untuk kegiatan sosial ya! Sekali lagi, selamat! Buat penulis-penulis lain yang belum menang, tetap semangat menulis dan terus berkarya, ya! Semoga semangat nulisnya nggak hanya di momen 31 Hari Menulis aja, hehe. Semangat menulis! Semangat semangaat!!
Sebelum Bang Wiro tutup tulisan ini, ada beberapa hal yang ingin Bang Wiro sampaikan, terutama mengenai pelaksanaan 31 Hari Menulis 2017 lalu. Bang Wiro dan para selir ingin meminta maaf kepada segenap peserta 31 Hari Menulis 2017 atas penanganan kami yang kurang maksimal dalam melaksanakan proyek ini. Perjalanan yang tidak mudah untuk kami, mengingat masih banyak keterbatasan-keterbatasan yang kami punya, baik dari internal kami, maupun eksternal. Kami mendapati kesulitan untuk pengumpulkan denda dari para penulis yang kena kapak. Hal ini sangat menghambat kami untuk segera mengumumkan pemenang.
Proses menghubungi juri dari hari terakhir 31 Hari Menulis 2017 pun tidak terpaut waktu yang lama. Juri kami, Mbak Mashita, sudah membaca tulisan-tulisan para kandidat blog terangker jauh sebelum situs tumblr diblokir. Sehingga bagi teman-teman yang mungkin bertanya-tanya mengenai hal tersebut diharapkan dapat memahaminya (bocoran: situs tumblr masih bisa dibuka kalau pakai wifi UGM, hehe).
Terakhir, Bang Wiro dan para selir yang sudah menemani teman-teman sekalian mohon undur diri dulu, ya. Terima kasih untuk dukungan dan partisipasinya selama ini. Terutama untuk para selir Bang Wiro yang sudah mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk social project ini, Bang Wiro ingin mengucapkan terima kasih banyak! Apalah Bang Wiro tanpa kalian. Semoga sukses untuk para selir dan penulis-penulis kesayangan Bang Wiro di mana pun kalian berada! Bang Wiro senang sekali bisa menemani kalian sampai bisa terselenggara 31 Hari Menulis ke-5. Doakan ya, semoga selalu ada alasan Bang Wiro dan para selir untuk kembali lagi menyelenggarakan 31 Hari Menulis dengan lebih matang di tahun-tahun berikutnya.
Semoga :)
Segitu aja deh. Terima kasih semuanyaa! Sampai jumpa yang entah kapan :)
Bang Wiro sayang kalian semua <3 <3 <3
Salam kapak!
Dengan penuh cinta,
Bang Wiro Sableng 212
Wednesday 17 May 2017
PENULIS TAMU TERAKHIR
Sebagai penutup...
penulis terakhir datang dari Komunikasi UGM 2011, mari disimak!
What is Transformational Thinking? A Self Reflection
Andreas Kennardi Julianto
Everything is changing especially with
the surge of creative industries in developed and developing
country. If we take a look at the human history, growth in the first industrial revolution was driven by engineering, the second through electricity
and production lines, and the third by technology and information. However, creativity is
predicted to bring transformation to the industrial revolution in today’s modern economy (Palti, 2017). Creativity will
bring a revolution for economic growth by putting skilled talent a crucial
factor in production. A new transformational thinking is needed for young generation. Thus, I’m trying to define transformational thinking from a self-reflection, reminiscing series
of events that had happened
in my life and start wondering what will I need in the future.
Creative
Force Transforms the Modern Economy
Most of the countries
already invest their human resource in becoming skillful labor, including the country where I live. During my college
years back in 2015, I remembered one of my issued the launch of ASEAN
Economic Community (AEC) and talked about how I should prepare myself with skilled
talent among ASEAN countries. At that time, I just thought how hard it would be for me since
English was not my native language. But funnily, my lecturer told that most of ASEAN countries still
use broken English. So the key to face this opportunity is being confident, and just be me.
Following the launch
of AEC, Indonesia will be on the hot seat. According to Kharas (2017), Indonesia will have middle-class markets
that are $15 trillion bigger than today by 2030. 64% of the middle class are entrepreneur or
work in private business and industry (Salim, 2012 as quoted by Afif, 2015). That’s why Indonesia under
the President Joko Widodo’s regime has formed Creative Economy Agency to
strengthen and support the role of the creative economy in Indonesia with the rise of the middle
class. According to BEKRAF, the next big thing in Indonesia is our creative economy
industry, which has contributed 7% of the GDP in 2016. The contribution of art, music, film,
literature and creative industries with the help of technology advancement can produce great work and
become potential for the global market.
The Power
of Collaboration on Indonesia’s Creative
Economy
The development of
Creative economy can transform our way of life and beyond. However, I am part of the generation that will
truly decide what will it be in the future. I think it will be interesting to see how I and my
generation act and do in the creative industries. Creative industry talents consist of people who
work in an advertising agency, start-up, graphic designer, art performer, musician, or artist. It
will be interesting to see how we come to this point and
what we’ll see in the future.
Most of us live in
the post-Suharto era, where freedom of speech and diversity has become the backbone of Indonesia’s identity. This
makes us have a greater degree of openness towards others, and initiate collective groups based on same
interest and create collaborative projects. The collective groups consist of different
people with the various background but have a related interest whether in music, art, film,
technology or literature. These collective groups can be traced in an urban area in Indonesia
where the creative economy and popular culture throb at the heart of the city.
The benefit of collaboration allows you
to broaden your perspectives when you work on certain projects. When we collaborate,
each of us automatically has roles, intent, vision, and metrics to achieve shared goal (Coleman,
2009). Roles define each participant’s responsibility, intent and vision create clear goals,
and metrics help the group to create measurable evidence to achieve the goal. I have a friend who
has started a collective study group called “Bakudapan”. 1 “Bakudapan” initiate
collaborative projects about food and combine it with social research and art. One of the remarkable collaborative
project from “Bakudapan” is a program called “Cafe
Society”.
“Cafe Society” is a weekly mini
film screening in a city called Yogyakarta. In “Cafe Society”, people can get collective experience
from watching a movie, eating thematic food, and social interaction through intimate discussion.
Other collective groups such as “Mes56” and “Forum Film Dokumenter” support this program
by curated the film and provide their working space as the mini theater. This opportunity
allows the collective groups to create a scenario where people can access art in a unique, playful, and
holistic experience. The spirit of collaboration ramifies
with the rise of collective groups and communities as the evidence. Thus, it also generates more
demand on co-working space in Indonesia. The demand is increasing significantly that local
government has taken part to upscale the situation by providing creative space for artisans to
collaborate, such as “Jakarta Creative Hub” in Jakarta and “Simpul Space 1 & 2” in Bandung.
Collaboration can transform the progress of creative economy in Indonesia to the point it
entangles all the stakeholders to move forward.
What is
Transformational Thinking?
Transformational
thinking should make us able to create generative change, build a sustainable ecosystem, and produce great
work. I realize the spirit of collaboration has immersed in my culture and become the
key to obtain transformational thinking. “Bhinneka Tunggal Ika” has always been the
national motto in my country, which means “Unity in Diversity”. With the spirit of collaboration, we let
ourselves to be more diverse. Diverse groups bring out the best in individuals too.
In diverse groups, all member has their own role and can fill each other’s flaws. This will create them to be more
innovative and creative. In the advertising industry, the trend
has been divided into 2 categories; culture, and collateral (Golding, 2017). Collateral
is a safe zone where data is heavily optimized and directs the overall campaign, resulting
low-production-cost and flexible (templated) marketing. The intention is not to be brand-building,
but nudge an audience member along a consumer journey. While culture is a bravery act where creativity
and culture are integrated to create disruptive cultural events, which will lead to a
relevant social phenomenon for the audience. Of course, from the business side, popularity can
trigger growth for the brands (Sharp, 2012). Being collaborative means embracing our
own uniqueness and culture to the table. Although data is important, cultural insight is
the main ingredient to create a powerful campaign. As astrategist, it will challenge us to make a campaign that will create an impact on the culture. Hence, it can also be an opportunity for brands to act beyond marketing and support the cultural shift by creating disruptive collaborative work. With this, brands can also get deeper engagement with their audience and develop fame to sustain their growth. One of great example is a campaign by Tiger Beer called “Air Ink”.2 Tiger beer initiated a collaborative project with Marcel Sydney and MIT Spinoff Graviky Labs and created an ink made from air pollution. They were also incorporating street artists to work with the ink and produced art exhibition. With this, Tiger Beer already embrace transformational thinking by creating collaboration project and fabricate cultural event.
1 See more at http://bakudapan.com/en/
Collaborate.
Learn. Play
Applying transformational
thinking is not an easy task because not everyone is a team player, including me. But we’ve seen the power of
collaboration, from supporting the backbone of Indonesia’s creative economy landscape to producing a
powerful campaign that creates a cultural phenomenon. To collaborate, I
think the first step to do is just be ourselves while working. Remember the story about my
lecturer had taught me to prepare the AEC? It’s the same advice. One of the premises of
collaboration is collecting unique individuals on the table. So, embrace yourself and discover the
best you can be, and how big is the difference you can make.
The last step is
thinking all the projects as a playground. Really. Collaboration is often marked by lots of open discussions and
brainstorming together to achieve shared goals. We can learn and expand our perspectives
while playing around with our work. Hence, we will able to find powerful ideas as our solution.
References
Afif, Syaiful.2015.”The Rising of Middle
Class in Indonesia: Opportunity and
Challenge.”http://www.umdcipe.org/conferences/DecliningMiddleClassesSpain/Papers/A
fif.pdf/.
Coleman, David.2009.”42 Rules for
Successful Collaboration.”Silicon Valley: Superstar Press.
Golding, David.2017.”The Big Adland
Divide: Culture vs
Collateral.”http://www.campaignlive.co.uk/article/big-adland-divide-culture-vs-collateral/1
424173”.
Kharas, Homi.2017.”The Unprecedented
Expansion of The Global Middle Class:An
Update.”https://www.brookings.edu/wp-content/uploads/2017/02/global_20170228_glob
al-middle-class.pdf.
Palti, Itai.2017.”Creativity will be
the source of our next industrial revolution, not
machines.”
https://qz.com/954338/creativity-will-be-the-source-of-our-next-industrial-revol
ution-not-machines /.
Sharp, Byron.2012.”How Brands Grow:What
Marketers Don’t
Know.”South
Melbourne:Oxford
University Press.
2 See more at http://www.air-ink.com
#31harimenulis
Tuesday 16 May 2017
PENULIS TAMU KETUJUH
Mantan selir Bang Wiro menyapa!
Ini tulisan kiriman dari ex-selir Bang Wiro yang kini sukses meraih beasiswa LPDP dan kini menjadi New York Yankees ~
Ini tulisan kiriman dari ex-selir Bang Wiro yang kini sukses meraih beasiswa LPDP dan kini menjadi New York Yankees ~
TIPS MENULIS STATEMENT OF PURPOSE
oleh Binar Septiani
Full Disclaimer:
Ketika meminta saya untuk menjadi penulis tamu di 31 Hari Menulis, Derry memberi sebuah tema: New York yang Gemilang. Oke…
Saat mulai menulis, saya kesulitan menemukan point of view yang
tepat, sampai akhirnya saya sadar bahwa saya tidak akan sampai di sini
kalau saya tidak mengalahkan kemalasan saya untuk mengerjakan bagian
terpenting: menulis statement of purpose (SOP). SOP, bagi yang
kurang familiar, adalah jenis esai yang biasanya harus kita tulis ketika
ingin mendaftar kuliah atau beasiswa, beberapa perusahaan juga
terkadang meminta hal serupa.
Saya tidak akan menulis tips menulis SOP konvensional dimana saya akan menerangkan “cara terbaik menulis SOP". Here’s quick tips: that’s what Google is for. (Dan sejujurnya, sampai saat ini saya pun nggak pernah yakin bahwa esai saya cukup bagus.)
Saya akan bicara tentang satu-satunya tips yang saya punya: just fucking start writing the damn thing. You’ve been warned.
“How do you see yourself in five years?”
“What are you going to do in the future?”
“Why this program is suitable for you?”
.
.
.
Trust me, the list can go on a lot longer.
Sebagai seseorang yang tidak suka pertanyaan eksistensialis dalam setting formal (albeit like to talk about it for hours with my friends), saya selalu terdiam sejenak ketika harus menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Sayangnya, jawaban “mbuh!” bukanlah jawaban yang diinginkan. Walaupun sering kali itu adalah satu-satunya jawaban yang saya punya.
Dari lebih dari sepuluh essay yang terpaksa saya tulis untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya hanya punya satu tips:
It’s ok. Just start writing the damn thing.
I know, I know. Menulis esai bukanlah hal yang glamorous atau seksi untuk dibahas. Tapi New York City dan Columbia University tidak akan terjadi jika saya tidak memulai menulis esai.
Menulis SOP terdengar sangar dan menegangkan. Not going to lie, it is. Rasanya
cukup kesal karena masa depan saya ditentukan dari susunan 500 kata
yang saya tulis. Lebih kesal lagi ketika saya, sering kali, genuinely tidak tahu apa yang saya inginkan.
Let’s
just agree on one thing: we are all confused about the purpose of our
life. I am and you’re lying if you say you’re not. We’re not here to
talk about that.
Butuh waktu panjang untuk saya mengetahui apa yang saya “inginkan dalam hidup”, dan saya makin menyadari dan kombinasi deadl ine itulah yang membantu saya memetakan apa yang saya inginkan dan perlahan-lahan mewujudkannya.
Butuh waktu panjang untuk mengetahui apa sebenarnya yang kita ‘inginkan dalam hidup’ (and I begin to believe there’s no such thing as ultimate purpose, anyway…) dan kebingungan ini sering kali membuat kita menunda menulis. Deadline, sayangnya, tidak menunggu.
We’re all confused. That’s perfectly normal.
It’s ok. Just start writing the damn thing.
Ini yang bisa saya bagi: inspirasi datangnya bisa dari mana saja.
Di
sepanjang perjalanan hidup saya, saya selalu beruntung bisa bertemu
dengan orang-orang pintar dan bijaksana yang menginspirasi saya untuk
selalu punya mimpi-mimpi baru. Saya tidak pernah bermimpi saya ingin
tinggal di NYC sampai masa saya kuliah S1—I literally stole the dream from a friend. Tapi saya tau mimpi ini… is for me.
Daripada malu mengakui bahwa saya menjiplak mimpinya, saya berterima
kasih pada teman saya karena dia adalah orang yang menginspirasi saya
untuk bisa sampai di sini.
I look around, then I find my way out! And you can do that too!It’s ok. Just start writing the damn thing.
Lastly, ini satu rahasia hidup sederhana yang menurut saya penting—tapi perlu waktu lama untuk saya menyadarinya: mimpi boleh berubah.
My dreams do change overtime.
Saya
bahkan cukup yakin esai yang saya tulis empat tahun yang lalu untuk
mendapatkan sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan multinasional sudah
tidak cocok dengan saya yang sekarang.
Saya
tahu bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang merasa kecil hati
ketika saya harus mengakui bahwa saya tidak lagi mengejar mimpi ideal
yang saya punya dari kecil. Masalahnya, saya tidak punya mimpi masa
kecil. Romansa mengejar mimpi masa muda tidak terciptakan untuk semua
orang, termasuk saya.
Mengutip Sheena Iyengar, salah satu dosen di Columbia University (shameless promotion, haha), “As
Stephen Colbert will tell you, it’s not inconsistent to say one thing
on Monday and another on Wednesday if you gained new knowledge on
Tuesday or if the situation itself changed."
We don’t have to have it all figured out. It’s not fun that way anyway.
It’s ok. Just start writing the damn thing.
You’ll be amazed by the new things you found about yourself.
And here’s the news. You will get rejection at best, no respond at worst.
Maybe when you’re lucky, once in a while, you may get what you wanted.
Just remember: It’s ok. Just start writing the damn thing.
Good luck!
#31harimenulis
#31
AKHIRNYA BERAKHIR SUDAH REKAP-MEREKAP 31 HARI MENULIS 2017!
Terima kasih kepada semua penulis-penulis kesayangan Bang Wiro atas partisipasi dan semangatnya menulis selama 31 hari ini. Semoga terus menulis, menulis terus! :)
Bang Wiro persembahkan rekapan hari ke 31, monggo dicek berapa skor finalmu. Dan siap-siap untuk yang kena kapak, karena sebentar lagi Bang Wiro akan kerahkan para selir untuk menagih harta rampasan. Huahahahaa!
TOTAL DENDA 31 HARI MENULIS 2017
Rp 1.840.000 + Rp 100.000 = Rp 1. 940.000
SIAP-SIAP BLOG TERANGKER, ANDA AKAN KAYA RAYA!!
Terima kasih kepada semua penulis-penulis kesayangan Bang Wiro atas partisipasi dan semangatnya menulis selama 31 hari ini. Semoga terus menulis, menulis terus! :)
Bang Wiro persembahkan rekapan hari ke 31, monggo dicek berapa skor finalmu. Dan siap-siap untuk yang kena kapak, karena sebentar lagi Bang Wiro akan kerahkan para selir untuk menagih harta rampasan. Huahahahaa!
TOTAL DENDA 31 HARI MENULIS 2017
Rp 1.840.000 + Rp 100.000 = Rp 1. 940.000
SIAP-SIAP BLOG TERANGKER, ANDA AKAN KAYA RAYA!!
Subscribe to:
Posts (Atom)